Aku dan Cermin


Wajah ku cantik dalam bayangan jendela.  Sinar putih kemilau cahaya rembulan menggores tulang pipiku. Membentuk garis bergerigi dan mataku menjadi hitam pekat, kecuali bila sinar bintang menerpa, mataku akan kecoklatan. Kurias wajah menghadap gelas. Langit menatap bibirku meniru lirik lagu di playlist  kesayanganku. Beberapa minggu terakhir ini aku meninggalkan hal-hal kesukaanku, Headset baru,  flat shoes, novel abad pertengahan, Choco Crunch dan keripik kentang Pringles. Mencari getar-getir suara parau di tengah perjumpaanku dengan banyak orang. Hampir tak menjadi diri sendiri, atau bagaimana.


Kuingin nikmati parodi bayangan lebih lama lagi. Aku terpesona tertelan oleh kegelapan. Wajahku menyisakan teka-teki ; nyaris terlihat cantik. Bayangan cermin ini tak mengejutkanku ; aku pernah melihatnya sebelumnya. Malam kemarin bayangan itu menatapku dari jendela mobil, lalu pecah oleh sorot lampu jalanan. Bagian jiwaku ini, setengah tersembunyi dan seperti dongeng misterius. Inilah bagian yang kusuka. Ia sepenuhnya milikku. Ia dewasa, bijaksana, dan feminine. 

Pernah kudengar, kecantikan gadis remaja serupa dengan sebuah getaran. Ungkapan itu tepat menggambarkan diriku. Pengejawantahan kecantikanku adalah pujian yang aku terima. Sebaliknya, aku akan tampak mengerikan, seperti hantu jahat, jika tiada yang memujiku seperti yang aku inginkan. Cerminan diriku ini, sebuah bayangan pekat nan pucat, tanpa diragukan lagi sungguh menawan. Kecantikannya berasal dari kemuliaan wajahnya, sedangkan kebijaksanaan dan potensinya terpancar dari matanya. Semua itu tergantung dari eksistensi jiwa yang liar.

Pandangan tajamnya di cermin seolah menginterogasiku, “Kapan kau akan belajar apa yang kau ketahui? Kapan kau akan menyingkap kekuatan ini?” tapi pernyataan “Kapan?” memastikan sebuah janji. Sebuah janji untuk suatu hari nanti, tak lama lagi, segala sesuatu yang ia punya akan menjadi milikku. 

Pintu mengayun tertutup di belakangku. Aku melangkah keluar menuju jalan beraspal basah bekas sisa hujan beberapa jam lalu dan berharap segera tiba di rumah. Sesaat, kurenung lagi cerminan jiwaku. Siapa dia? Mungkin dia seorang penyair.


Hikmah dari menggunakan kendaraan umum
dengan Headset menempel di telingamu adalah,
tak ada yang tau apa yang kau pikirkan,
bahkan saat tak sengaja kau bercermin di spion supir. :D

Komentar