Metafora


Benar kan, aku jatuh cinta pada seekor kupu-kupu,
Sendiri kukejar ia kesana-kemari.
Kulewati bebatuan dan tebing juga pemandian air panas.
Kadang ku terpengaruh suasana dan berusaha menangkap kupu-kupu ku itu.
Lalu kutangkap ia dengan jepitan raksasa, dan aku berkata ,”aku terjaga!”
Akhirnya. Selamanya. Tapi, ku tak mampu begitu, hanya karena aku orang kerdil yang takut akan rasa sakit.
Kadang aku ingin orang lain juga mencintai kupu-kupuku,
Dan mengejarnya bersamaku.  Tapi, itu tak bisa kulakukan. Karena inilah kupu-kupuku.
Kadang kesepian kupu-kupuku dalam jepitanku. 


Tapi saat kukepal tinjuku dan berpikir melakukannya, Kusadar musthail sendiri.
Lalu, aku merangkak untuk sesaat. Dan aku benar-benar jatuh cinta.
Lalu api neurotis gila ini, akhirnya membakar cintaku.
Lalu kuhempas semua apiku, jatuh cinta dan tergila-gila kepada beberapa orang.
Tentu tak semua mulus. Tapi ku tetap merangkak maju.
Ku hanya orang kerdil. Kadang semua cahaya padam. Gelap.
Lalu aku merangkak maju menyisir gelap hingga kutabrak sesuatu.
Kutabrak orang lain. Kucoba raba, saat gelap selimuti, barangkali kutemukan orang lain.
Kusimpulkan, makin sering kuhemat bicara, makin sirna gelap itu.
Itulah yang membuatku rendah hati. Itulah yang menguatkanku. Itulah kekerdilanku.
Itulah pembahasanku. Deskripsiku.
Kuyakin, kalian semua punya istilah berbeda pula.
Tapi inilah bahasaku, inilah metaforaku.

Puisi ini kutulis untuk Marlina,
Cepatlah sembuh, walau kau menyebalkan.

Komentar