Surat Untuk Cinta Pertama


Aku menulis karena dalam kotak kecil di lipatan otakku seorang gadis kecil keras kepala tak henti berteriak, “Hanya ini milikmu!” Aku menulis karena ini seni, dan ini cinta pertamaku, sebelum Turki dan Rusia. Keinginan sejati dan cinta pertamaku. Ia menelanku, egoku, dan semua tentangku bulat-bulat dalam satu teguk. Aku tak menulis surat. Aku menulis bab-bab yang tak berhubungan dengan syair heroikku yang tak pernah berakhir. Merenung, merenung. Ia mendaki tubuhmu, menggerakkan boneka anggota tubuhmu dan membebaskan kata-kata dari dinding jiwamu.

Aku merasa seperti melangsungkan konser seluruh hidupku di auditorium raksasa ini. Sekali waktu, lampu sorot menerangi latar dan aku tersadar aku tak punya penonton. Tiada apapun kecuali muram berderet di kursi terlipat. Tapi aku tak peduli. Aku menulisnya karena naluriku berkata demikian. Kadang ku kirim sepucuk surat dan segenap jiwaku dan berharap mereka menyukainya karena ini  sangat pribadi. Karena kuciptakan sesuatu untuk seseorang dan berani menuliskan nama diatasnya. Menulis adalah keberanian. Mungkin menulis adalah keberanian yang kupunya. 

Semua orang ketakutan. Sylvia Plath pernah menulis, “Kupikir, sesuatu yang paling kutakutkan adalah kematian imajinasi.” Pada malam lain, kuhanya merasa seperti tenggelam. Aku terus melontar tangan ke buku-buku padat kutipan dan kalimat, hingga imajinasi ku tak dapat melakukan apapun tanpanya. Kupikir akhirnya aku kehilangan diriku. Konyol, dasar gadis melodramatis!! Aku salah. Tapi itu memang terlalu menggetarkan jika telingamu kau biarkan rehat di kasur, lalu mematikan lampu dan memandang lampu redup jalanan. Kuhanya takut itu, karena kehabisan kata.

Akhir-akhir ini segenap jiwaku kacau, sangat kacau. Tiada kuas yang cukup besar untuk melukis sesuatu dalam jiwaku. Tiada kata-kata bordering, menusuk dan menggema. Hanya ada kegaduhan pucat terkelupas dalam diriku sekarang. Kegaduhan yang sangat berisik dalam jiwaku. Kuharap, kumiliki tinta ungu, lalu aku berguling telanjang di tinta itu dan menari berputar-putar, lalu aku akan mengerti kegaduhan itu. 

Kuberharap memiliki auditorium kosong dan sebuah gong raksasa. Lalu kupecahkan semua Kristal tempat lilin itu. Kuharap memiliki kata-kata, kata-kata musical yang manis, untuk melukiskan perasaanku saat ini. “Kawan, menulislah! Hanya itulah milikmu!” Potonglah telingamu jika perlu. Hiduplah dalam kemiskinan dan mengemis makanan dengan wajah lusuh dan celana kumalmu. Tapi engkau masih punya niat untuk menulis.

Kupikir inilah yang kita sebut momen kejernihan. Tiba-tiba saja kulhat ombak perahu layar menantang langit biru tengah malam, lalu ku endus aroma hujan. Mataku tampak sangan pekat gelap dan tajam di cerminan lampu jendelaku. Hantu bermata tajam di jendela itu terlihat kuat dan bebas. Aku benar-benar sendiri, tapi tidak kesepian, di balik lipatan selimut. Aku terus menulis, sekurang-kurangnya satu jam. Menulis tergesa-gesa. Inilah momenku, sebenar-benarnya diriku dan hanya diriku.

Komentar