Aku Malaikat atau Alien?


Aku lelah, gelisah. Pikiranku kosong dan kacau akibat kurang tidur. Di kesunyian pikiranku yang berkecamuk, indera-inderaku berteriak. Warna langit. Warna kaca depan mobil. Kilauan embun di dinding pualam. Suara berderak dari kantong plastik bekas makanan cepat saji. Kicau burung camar laut melengking.

Benda-benda bergerak-gerak, seperti sebuah kota. Aku tak sanggup ujarkan kata, hanya menggigil. Tak sanggup berkomunikasi. Benda-benda begerak-gerak, berbaris menyamping, sepatunya berderap, matanya menyapu sekitar. Kadang, mereka tiba-tiba berlari cepat, bersembunyi dalam mobil yang melaju, bergoyang canggung, terencana, menuju suatu tempat.

Kota ini dan aku, kami tidak bergairah, mendengung. Sebuah bus putih melintas pelan dalam kesadaranku. Seekor burung gereja. Sebuah tanaman rhododendron. Semuanya individual. Asteroid. Kota ini dan aku, kami tak berpendapat. Kami hanyalah saksi mata.

Makhluk-makhluk lain matanya melihat tapi otaknya libur. Namun bergegas menyusun teori-teori. Pendapat. Strategi. Aku tetap menjaga jarak. Jika seseorang mengajak bicara, aku tak akan terlibat. Aku liburkan bahasa saat malam hari. Aku berubah menjadi makhluk luar angkasa. Mungkin mereka menangkapku dan menjadikanku eksperimen.

Atau, mungkin mereka panik lalu bertindak sesuai naluri sepertiku. Mungkin kami akan berhenti menakar wajah satu sama lain.






Aku terpuruk,
Namun aku sadar, aku telah mati.
Dalam penilaianku sendiri.

Komentar