Ku bayangkan prosesi puisi-puisi
abadi yang tak di sadari. Masing-masing orang duduk menuliskan hal-hal yang
akan menghentikan mobil-mobil di jalan raya dan memutar sesuatu yang berasap –
mencemari mata dari perahu motor cepat dan melintasi gunung-gunung.
Masing-masing semenanjung berujung menelan sesuatu yang akan menghentikan
evolusi gambar –darinya, rumahku, hatiku- pusaranku, dan kebosananku.
Kubayangkan semua tinta yang kubuang, hilang di salah satu puncak gunung-gunung
ini, mengudarakan bunyi sengau dan mendidik, mencoba menuliskan satu hal baik
yang mungkin saja membekukan arsitektur natural basah yang menggambarkan
gubahan manusia yang tak berhenti.
Dan kamu, (boleh aku menyamarkan
namamu dengan Stuart?) oh,,ya,, karena kamu adalah layang-layang berwarna
kelimaku, cintaku yang juga tak terlihat cepat, kamu tahu dari surat-suratku,
karya-karya dari sebuah puisi yang sentimentil, yang menghapus gambar
burung-burung di tepi pantai dan mengadakan pembelaan untuk mundur sementara waktu.
Aku merengek dengan rengekan yang sama padamu,
seperti yang kulakukan pada puntung-puntung pohon cedar yang besar dan
melarikan diri dari bunga-bunga rumput dan pernah mengubah jahitan kain perca,
memperjelas-memotong dan mengembangkan aroma bawang putih tumis kecoklatan di
atas minyak zaitun di dapur ibuku.
menggalau di atap
malam hari, denganMu
Sang Pemilik Cinta
Komentar
Posting Komentar