Klaustrofobia

Setiap pagi aku bangun di kamarku yang kucat berwarna putih. Sepertinya luar biasa aku mencatnya. Tapi sekarang terlihat seperti ruang tak-ada-dimana-mana. Alone. Aku mengerjap-ngerjapkan mata sejenak. Dan akupun siap menulis mimpi-mimpiku, atau lainnya, sebanyak satu halaman, atau menggambar beberapa peta dan sketsa tempat yang aku kunjungi di mimpiku, yang “belum” pernah ku jamah dengan kakiku di dunia nyata.

Aku membolak-balikkan selimut untukmencari pulpen, pensil, crayola, atau apa saja. Tapi, terkadang, memang, setelah aku menulis diary pada malam hari, paginya aku kehilangan alat-alat tulisku (mungkin peri gigi meminjamnya untuk mencatat gigi siapa yang sudah di ambil). Aku dapat mendengar atap meludahiku dan geram. Menungguku melihatnya. Karena, jika aku melihatnya, dia dapat , melahapku. 
Kucoba menatap jemariku. Kucoba pula menatap jurnalku yang terkena ludah atap. Aku mencoba menatap lantai –dimana semua majalah mode di tinggalkan disana oleh gadis lain yang nakal- hanya untuk menemukan sebatang pulpen. Tapi, aku dapat membayangkan, dimana pulpen itu mungkin berada.
Aku lepas kendali sebentar dan mataku terangkat keatas. Sial. Ada atap disana yang telah siap mengunyahku, karena aku telah menatapnya.


terkurung dalam pemikiran sendiri

Komentar