Kadang perempuan itu berharap
menggores wajahnya dengan puisi. Lalu berangkat sekolah dengan keadaan
sperti itu. Dia juga berharap dapat
menulis puisi di dinding-dinding, karena selembar kertas memiliki sudut, pinggiran
dan batasan. Dia berpikir inilah satu-satunya cara merembeskan kata-kata dari
pulpen, meluber ke kertas lembut dan melayangkan sunyi. Agar ketika dia kembali
membaca kisahnya, kata-kata itu berterbangan dalam senyap.
Perempuan itu mendamba sesuatu
yang dramatis terjadi. Kesadarannya menunggu hingga dia menulis kelebat
ketakutan awal kehidupannya. Bagian lain dirinya menderita atas
ketakberdayaannya mencontek telaga suram, cermin yang menipu diri di dalam
jiwanya. Bagian dirinya ini takut hancur ditumbuk hujan rintik-rintik yang
turun setiap siang. Itulah ketakutan traumatiknya. Nun jauh disana, di daerah
zona abu-abu dan musik hampa, di antara dua kehidupan ini, Sang Pencipta
tariannya menjauhinya. Agar dia mengejarnya.
Perempuan itu terbangun di suatu
minggu pagi saat dia masih mendamba hidupnya kembali. Karenanya dia terus
pejamkan mata. Di luar jangkauan waktu, dia dapat mendengar kicauan burung
berpilin diantara sela-sela jendelanya. Tiada cahaya matahari disikunya dan dia
berjemur dibawah ciuman kegelapan yang dingin dan lembut. Udara malam jenuh
dengan aroma embun pagi dan menggosok tubuhnya perlahan.

Perempuan itu tumbuh dengan
keyakinan bakat spesialnya. Dia yakin punya tujuan khusus dalam hidup. Tapi,
ide itu perlahan retak dan pecah di depan matanya. Dia biarkan perih kekecewaan
menoreh jiwanya dan keragu-raguan mengganyang sobekan jiwanya.
Perempuan itu bersandar ke
bantal, dan kembali terlelap. Dia berpikir, sejak memulai, dia lewati tanpa
tahu perjalanan hidupnya. Ketika dia terjaga, keluarganya berada di
sekelilingnya. Mereka ngobrol dengan keras seolah perempuan yang sedang tidur
itu salah satu hewan piaraan ; tak cukup cerdas untuk dihiraukan. Tapi tak
terlalu bodoh untuk diabaikan. Dalam diam, dia pergi mandi. Pertarungan terjadi
dalam dirinya seiring air menyusuri lehernya dan masuk ke mata juga mulutnya.
Dia mencari kata baru untuk sebuah makhluk yang dia pandang dari sudut cermin.
Sebuah roh, hantu, seorang wanita tua, seorang bayi. Manipulative,
melodramatic, hipokrit. Kemudian dia kutuk diri sendiri karena menghamburkan
waktu hanya untuk memikirkan diri sendiri.
Dia bungkus tubuh telanjangnya
dengan handuk kasar lalu keluar kamar mandi. Dia tatap cermin yang memuat
dirinya, merenung wajah yang dahulu biasanya bersiul-siul dari jendela mobil
dan memandang lama ke mall. Baginya, wajah tak harus cantik. Tapi wajahnya
menyisakan misteri. Dia kembali bersandar dikaca dan mengusap lapisan embunnya.
Dia bertanya kenapa bibirnya berkerut ketat dan rahangnya terkunci rapat. Dia
mengambil pensil alis dan menebalkan alis matanya dengan rasa dendam. Seolah
penghitam alis mata adalah senjatanya, perlawanannya. Namun ia tak tahu apa
yang dia lawan.
fase denial,
kau tak selalu tahu apa yang di rencanakan Tuhan
yang terkadang justru membuatmu terlihat bodoh.
Komentar
Posting Komentar