Alice. Gadis kecil
berambut pirang dan berkaos kaki putih. Dia sedikit impulsive. Suatu hari, dia
masuk lubang mengejar seekor kelinci dan menemukan Wonderland. Di situ, di
Wonderland, dia menemukan banyak sekali hal gila dan suka meracun ulat bulu dan
Mad Hatters yang berulang kali terjebak disaat bersamaan dalam waktu yang lama.
Kecuali itu, Wonderland
adalah tempat menyenangkan. Kupikir Wonderland adalah sebuah pesawat terbang. Dari
atas, tampak air membeku dengan retakan biru membelahnya menjadi gumpalan putih
raksasa. Ini pernah kulihat sebelumnya. Di Wonderland itu, ada lapisan debu
batubara di salju. Ada mobil-mobil dan bangunan-bangunan apartemen kotak
raksasa menjulang ke langit merah muda. Seorang wanita tua duduk di depan pintu
dengan scarf membungkus kepala. Dia saksikan semuanya dengan mata kantuk. Itu
Rusia-ku. Itulah Wonderland pertamaku. Barisan jendela, di baliknya orang-orang
berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti. Didekap debu batubara. Diantara
pegunungan. Di pinggir lautan es putih dan retakan biru. Rusia-ku.
Alice. Gadis bermata
biru. Saat masuk kerumah kelinci, dia memakan jamur. Malang akibatnya. Dia membengkak
hingga wajahnya menempel di langit-langit. Dia tak mengerti bagaimana cara keluar
dari rumah itu. Semua makhluk kecil melemparinya batu dan berusaha membakarnya
karena dianggap monster.
Wonderland berbeda
sekarang. Ini tak hanya tentang Rusia. Ini tentang orang gila yang kutemui di
jalan kota. Kebiasaannya menggertakan giginya dan memungut punting rokok di
tanah. Dia menolongku menipu kedai kopi yang mematok harga segelas teh seharga
8000 rupiah. Ini tentang ruang asrama SMP ku, dengan pencahayaan temaram, semua
orang berbicara bahasa asing yang dicampur, arab-inggris, inggris – arab.
Dan Aku. Aku. Aku.
Konyol. Konyol. Konyol. Wajah ditabrakan ke lukisan oranye di lorong sekolah
SMP ku. Wajah ditabrakan ke lemari dapur dan kertas dinding berbunga-bunga
warna biru. Rahang ditabrakkan di titik temu jalan raya alternative. Dahi ditabrakkan
di perbukitan selatan. Konyol. Konyol. Konyol.
Alice malang, nyaris
tenggelam di genangan air matanya sendiri. Konyol. Konyol. Tak lama lagi. Tak lama
lagi semua meleleh lalu berangsur membaik.
Mamaku tak kan berdiri
di depan pintu kamarku tuk bertanya mengapa aku bau asap. Dia takkan pernah
melupakanku. Mungkinkah mama tahan duduk di kedai kopi bersama orang gila
menghisap puntung rokok yang di pungut dari jalan? Mama. Konyol. Konyol. Konyol.
Oh, mama, terselip kecantikan diantara ulat bulu dan Mad Hatters. Kecantikan itu
menembus batu bara dan memecah botol-botol minuman kaca. Kecantikan itu
menggantung di awan berasap.
Oh, mama, kaos kakiku
dekil dan kuharus mengurai rambutku. Mama, aku mau terus menulis kisah menarik.
Kan kubuang sampah di piyamaku. Mama, aku belum tahu bagaimana merengkuh
matahari terbit. Tapi aku bisa kabur dari rumah dan bisa ngobrol dengan bulan.
Oh mama, mengapa kau berkata, “Aku tak mengerti dirimu sekarang?” konyol. Konyol.
Jatuh kelubang kelinci. Memakan jamur. Pergi ke Rusia. Ngobrol dengan orang
gila.
Itulah ceritaku tentang
Alice. Aku tak berniat tenggelam dalam airmataku sendiri.
Komentar
Posting Komentar