Colin


Aku bertahan di tempat tidurku, melihat garis-garis matahari ke kerai keranjang ku. Setelah dia pergi beberapa jam lamanya, aku tak yakin kalau aku sedang tidur. Ketika itulah mariachis merangkak masuk ke kamarku membawa gitar biasanya. Ku dengar mereka tertawa di balik pintuku. Saat masuk, mereka berparade mengeilingi tempat tidurku dengan wajah merenggut, dan sesekali berpura-pura sesenggukkan.  Sambil pura-pura menangis, mereka tutupi gigi depan dengan kuku mereka yang mulai menguning untuk sembunyikan tawa. Mereka sumpahiku dalam bahasa Spanyol, lalu mencibirku, memastikan aku tak mengerti apa yang mereka katakan. 

Jemari mereka menari memetik gitar. Bibir mereka monyong layaknya badut-badut sirkus. Mereka bernyanyi selama beberapa jam. Lagu kematian bebas melantun. Irama dari perut gita, dinding kamar yang ditabuh, sesekali betis dan pahaku yang tampak dari singkapan baju tidurku mendendang nama Colin, mengujar huruf l di depan wajahku. Kepala ku dielus-elus, mata tajamnya melirik.

Dalam lantunan lagu berbahasa Spanyol, mereka melagukan aku yang tak akan pernah mencium kelopak mata Colin lagi. Tak akan lagi merapikan sepatunya di depan pintu rumahku. Tak akan lagi menelusuri leher hingga tulang ekornya dengan kelingkingku. Ku tahu mereka menertawakanku. Mencium kelopak mata, Ha..Ha..ha.. Merapikan sepatu, Ha..Ha..Ha.. Mereka menjadikan itu lelucon. Itu memang lelucon dan aku muak.

Ku teringat jendela. Kini, aku tak bisa memanjatnya lagi. Ku jalani hidup di dunia, di luar jendela itu. Bersama Colin, kami mustahil muntah. Aku jatuh, jatuh, dan jatuh. Sesekali saat ia kemari, ku lewati malam-malam dengan menghirup aroma madu almond dari jemarinya, pergelangan kakinya, lalu ku angkat bahuku. Aku tak bisa pengaruhi dunia di luar jendela itu. Aku lebih lemah dari serangga. 

Ku urungkan diri sebagai saksi mata. Aku hanya mengingatnya. Selalu ku ingat gurau-guraunya dalam hidupku, hingga kata-kata yang pernah dia ujar tak terbingkai kalimatku. Untuk menulis ini, ku miliki sedikit tenaga. Aku lelah kerja selama 72 jam. Di penghujung tahun. Dan ku akui, baik, akulah saksi mata. Akulah sepasang mata dan telinga. Akulah perekam. Akulah sederet tanya. Kan kucari metafora, mengira-ngira rasa madu almond dan kayu cendana basah. (rempah-rempah kotor, sirup tumpah, baked spinach potato rasa lada hitam).

Semua ini bagai aroma mariachis bagiku. Kami tak bisa jujur ketika saling memberitahu perasaan kami. Kejujuran tersibak rambut satu sama lain, terbuka oleh kelopak mata satu sama laindan mengintai mata-mata di restoran masakan Italia.

Kadang dia pura-pura menangis. Suaranya terlipat rengekan dan wajah masam. Aku pura-pura menghiburnya. Semua ini bohong. Satu bagian terburuk dari seluruh kebohongan ini adalah dia mau rasakan sesuatu ; ku tahu dia inginrasakan sesuatu. Kami berdua adaalh actor yang buruk. Dunia di luar jendela adalah dunia yang sangat lemah. Kami temukan arti hidup; mengakui kebohongan dapat membalik gravitasi. Kamilah boneka kertas itu.

Ku relakan sisa hidupku sebagai waktu yang tercuri, hilang di luar jendela bersama Colin. Akulah saksi mata dan pengacau. Aku rela hidup di antara blackberries, untuk saksikan bibirnya terpoles ungu karena jus blackberries. Selamanya kujalani hidup melawan ancaman lebah. Disana, Colin dan aku hidup, tubuh kami menjadi bundar kecoklatan dan terkekeh-kekeh. 

Selamanya kami terapung di lautan asin berwarna hijau. Kami tidur di pasir pantai. Dia tidur menghadapku, mendekatiku. Lalu aku terjaga dari tidur karena dia sisir bulu mataku dengan kerang pantai. Gili Imajiner, itulah tempat nyata. Lebih nyata dari kotaku sendiri, dan kamarku, dan suara obrolan di atap rumahku setiap pukul 2 pagi. 

Sudut mataku mengintai seekor lebah madu yang hinggap di antara blackberries, sekarang mereka nyaris layu. Tak lama lagi, jika tak ada yang memetiknya, mereka segera menjadi debu hitam. Kami pergi. Kami tertawa bersama, lalu masuk ke dalam mobil. Ku beritahu dia bahwa aku sangat mencintainya. Dia pandang aku dan berkata “Aku sangat mencintaimu”. 

Selama beberapa bulan dia hampir menelponku dan memberiku kabar hampir setiap malam. Pada malam-malam ketika dia tidak mengabariku, kupastikan dia akhirnya pergi ke Gili tanpa aku. Tak lama, dia mengabariku, bahwa dia akan pergi. Ku putuskan membelikannya makan malam pada malam sebelum kepergiannya. Saat tiba waktu kami makan malam, sudut bibirnya menyimbolkan amarah. Belum pernah kusaksikan ini sebelumnya.  

Aku diam seribu bahasa saat kami pulang bersama. Dia gelisah. Tapi itu di sembunyikannya. Dia bertanya apa aku baik-baik saja. Dan aku tak mampu menahan diri saat dia terjun bebas ke tumpukan daun-daun di taman dan mengajakku ikut bersamanya, aku tersenyum dan menggeleng, “luka di tubuhku teramat banyak.” Ku tunggu sampai dia bersihkan bajunya dari dedaunan. Lalu ku minta dia pulang ke rumah. “Bawa wajah rusakmu itu, dan enyahlah dari hadapanku.”

“malam ini, malam terakhir kita.” Dia menatap ku tajam.

“seharusnya kau pikirkan itu sebelum kau merusak wajahmu sendiri.” Aku berjalan pulang dan meninggalkannya. Inilah cara kami berdua berpisah.

Berbulan-bulan tanpa kabarnya, aku mulai khawatir jika dia tertabrak mobil, pecah pembuluh darah, didekati lebah-lebah yang siap menyengatnya kapanpun atau tiba-tiba terserang flu berat. Aku mulai berdoa. Aku bertemu dengan dewi-dewi dan menitipkan rinduku untuk Colin. Aku bercerita pada bulan. Dan berdoa pada Tuhan di penghujung malam. 

Aku ciptakan ikrar. Akan ku tularkan kemampuan menulisku jika Colin menjauhi lebah-lebah. Ku hentikan berbohong jika Colin menjauhi lebah-lebah. Akan ku bagi kekuatan imajinasiku padanya, jika ia bisa datang malam ini. Ku anut islam taat jika Colin menjauhi lebah-lebah. Dan ku sobek juga ku bakar empat dari enam jurnal-jurnalku sejak umurku 13 tahun. 

Pada bulan Desember, ketika kelopak-kelopak mawar bertarung dengan hujan, entah mengapa tiba-tiba aku mimpi Colin. Aku mimpi menemuinya di sebuah pesta. Dia beritahu aku, dia sudah sembuh sekarang. Aku menangis dan menciumnya. Aku menciumnya dan menciumnya. Aku menarik diri beberapa saat, kulihat setitik tusukan kecil dalam mulutnya, tepat dimana aku menciumnya. Aku menarik diri lebih jauh dan sadar aku melupakan sesuatu. Tubuh Colin adalah jaringan sengatan lebah-lebah. Dia sekarat di depanku. Dia beritahu aku, dia telah putuskan untuk mati karena hal itu. Tiada sepatah katapun meluncur dari mulutku. Dia ucapkan selamat tinggal dan melaju dengan mobilnya. 

Aku berteriak memanggilnya, “sekarang aku sadar, kau tak pernah mencintaiku!” dan “Aku pun tak pernah mencintaimu!”

Dia pergi. 

Aku terbangun, dan mencoba menghubungi Colin. Telponnya tak tersambung. Aneh.
Semua penjelasan yang mungkin adalah dia sibuk. Mungkin mimpiku benar dan dia akan segera menghilang. Aku tak heran, karena aku tahu.

Aku bisa makan sekarang. Mencoba melupakan semua, tentang Juli, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember yang selalu kurindukan kedatangannya.
Tiada lagi mimpi tentang pembunuh. Tiada lagi lebah berserakan di lantai. Tiada lagi panik akan tawa yang tidak familiar.

Disana, tersimpan sebuah kisah. Pergi sekarang. Aku ingin menulis kisah yang lain. Bukan fragmen dari kisah beberapa waktu belakangan ini. Ikrarku ditolak. Aku bisa menulis lagi. Aku ingin menulis. Dalam keheningan, kesendirian yang menenangkan, dan sebuah kursi yang nyaman. Tak akan pernah lagi merasa jijik akan ibu jari yang bulat dan lembut.

Bintang-bintang tetap jatuh dan aku benci mereka. Mereka melintas dari Gugus Orion di atap rumah ketika aku berangkat ke pompa bensin dengan sekantong Joy Tarts. Mereka jatuh di jalan raya. Mereka jatuh di tempat parker di sebuah toko kecil. Aku ingin mereka membeku, tertunda. Aku ingin mereka jatuh ke atas Colin. Berdiri di lumpur ban kempes di sebelah mobilku. 



Komentar