Siluet


Kupikir  jiwaku suka berpetualang. Aku selalu mendongak ke atas, saksikan pesawat terbang memotong awan putih di angkasa, dan bertanya-tanya kemana mereka pergi. Dalam sebuah perjalanan panjang nan sunyi melintasi perbatasan antara Bogor dan Jakarta, kusaksikan perbukitan di sorot sinar rembulan. Kusaksikan kerlap-kerlip lampu  di kota kecil perlahan pudar lalu gelap di belakangku. Kusaksikan garis tebal dari balik awan, mungkin itu jalan tak berujung yang menghubungkan horizon timur dengan horizon barat. Karenanya, kuiri pada burung laying-layang.

Kuingat aroma perjalanan. Aroma dari kamar mandi di pompa bensin. Aroma udara pengap pesawat terbang. Aroma kayu redwood. Aroma bumi merah dan kering ini. Jakarta, beraroma knalpot motor, keringat, dan sampah. Sungainya beraroma telur busuk. 

Ku ingat penerbangan pertama ku,  terbang ke arah timur, dan semuanya tampak gelap. Terbang ke timur dengan pesawat itu, membuat perutku nyeri. Bukan lantaran mabuk udara atau gangguan pencernaan. Tapi nyeri yang menusuk perut, mengaduk-aduknya, hingga merogoh-rogoh kerongkonganku. Nyeri itu memaksaku melihat warna fajar. Di bawahku, matahari mulai terbit. Sebuah lipatan ungu  membedah gelap langit malam. Cahaya ungu menyinari kami, hingga siluet awan menyala-nyala menyilaukan. Tersibaklah pulau-pulau, pohon-pohon hijau yang di sapu fajar berwarna keemasan. Pegunungan menjadi biru tua, membuat batas dengan langit. 

Tak terasa bulir-bulir bening menitik di pipiku. Langit menjadi biru, dan matahari berhasil memanjat puncak gunung. Isak tangisku membasuh semua sinar cahaya itu. Itulah pemandangan matahari terbit terindah yang pernah kulihat. Tapi aku merasa belum puas.

Kurasa, aku akan berjumpa kembali, tidak, bukan dengan matahari terbit, saat itu aku seperti ingin kembali ke rumahku, di sore hari, membeli tiket hari itu juga, perbuatan konyol, gegabah, aku harus seminggu di kota ini. Aku akan kembali untuk melihat matahari terbenam.

Menunggu, aku rindu rumahku, walau aku kadang tak yakin layakkah disebut rumah, bila komponennya hanya pasir, semen, batu, dan atap? Tanyakan saja pada tetanggamu.

Bogor, aku tak tahu alasan apa aku tetap tinggal disini. Hujan. Kelabu. Panas. Lalu sunyi. Tapi aku tahu, kelak aku harus tinggal. Alih-alih pura-pura sedih atau menangis. Kusalahkan depresiku yang kuderita. Hari itu, di tempat nenekku, kuputuskan hanya untuk menulis, walau hanya dengan kemampuan rata-rata, aku tak peduli. Bahkan aku tak peduli jika aku mati kelaparan. Aku tak peduli sekalipun seluruh kehidupan brengsek SMA-ku menoleh kembali, menunjuk hidungku, lalu menertawaiku. 

Akhirnya, waktu ku habis, aku harus kembali kekehidupan aneh dan terasing di antara Bogor dan Jakarta.   Wilayahku ini, beraroma pepohonan. Ia beraroma hujan, menguap dari atap rumah, Menyeruak ke ruas jalanan, mendidih dalam genangan air di lapangan sepak bola, berlari ke rerambut lumut dan serabut akar pohon.

Dalam satu atau dua tahun kedepan, atau musim hujan di tahun ketiga setelahnya, aku akan menjelajah negeriku. Tak tau dimana, tapi aku tak peduli. Aku akan pergi. Titik. Bukan minggat. Kan ku beri ciuman perpisahan kepada pepohonan satu demi satu. Ku kan lintasi hidupku di jalan tanah merah, melewati bukit batu, ladang, dan pepohonan. Ku akan bersandar di jendela mobil untuk melewati SMA usangku dan berteriak, “Ha..ha..ha.! Fuck You! Fuck You!” untuk mengumpat masa lalu, lalu mengebut ke arah tol , entah ke selatan atau ke utara.

Saat pergi, ku kantongi lega sambil tertawa. Saat kembali, pertama kali ku kan ngobrol dengan pepohonan. Lalu bermain catur dengan ayah ku sampai puas. Kemudian kutemui mamakuberlaku aku seolah wanita dewasa. Bukan lagi gadis kecil. Ku kan menangis sekaligus tersenyum dalam pelukan mama. Kecuali itu, sendiri kusaksikan burung layang-layang mengudara mengambang sambil meremas bunga.


Komentar

  1. Diriwayatkan dari Salman Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

    ثلاثة لا يكلمهم الله ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم ؛ أشيمط زان، وعائل مستكبر، ورجل جعل الله بضاعته لا يشتري إلا بيمينه ولا يبيع إلى بيمينه ” رواه الطبراني بسند صحيح.

    “Tiga orang yang mereka itu tidak diajak bicara dan tidak disucikan oleh Allah (pada hari kiamat), dan mereka menerima adzab yang pedih, yaitu : orang yang sudah beruban (tua) yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, ia tidak membeli atau menjual kecuali dengan bersumpah ” (HR. Thabrani dengan sanad yang shaheh).

    BalasHapus

Posting Komentar