Suatu siang ketika muffin
pemberian Michelle tiba, aku membandingkannya dengan kue-kue tradisional khas
Nusantara, kurasa aku akan memilih kue lumpur, atau kue putu hangat berwarna
hijau cerah. Bersamaan dengan angan-angan soal kue, sambil berjalan masuk ke
dalam rumah, aku menyempatkan membuka kotak surat didepan rumah kami, yang
sayangnya bukan sekedar surat biasa, tapi lembar undangan pernikahan dan
sepucuk surat aneh dari kawanku, Rachel.
Aku membaca 5 lembar undangan pernikahan
itu, tidak semua untukku yang jelas, hanya 2 dari undangan – undangan tersebut
yang bukan untukku. Semua dari kawan-kawan yang mengenalku, atau tidak sengaja
mengenalku. Well, ada salah satu undangan yang sedikit “sesuatu” yang nampak
dari undangan ini. Si A yang dulu aku kenal berpacaran dengan si B sekian
tahun, menikah dengan orang yang bukan si B, begitu juga sebaliknya, dan yang
membuatnya lebih mencolok adalah tanggal pernikahan itu sama adanya. Dengan
pemilihan warna dasar kartu undangan yang juga serupa.
Sekilas aku melupakan sejenak
tentang undangan itu dan melirik surat Rachel. Aku akan menuliskan apa isi dari
surat itu kawan.
Eka yang baik,
Kau harus mau duduk di ruang
tamumu sejenak untuk bisa menyimak kisahku, tak lama, aku janji. Sejak papa
meninggalkan kami, aku memperoleh papa baru yang tidak pernah mengeluh saat aku
meminjam pakaiannya, memenuhi kulkas dengan bir untukku dan teman-temanku,
membelikanku sebuah Ferrari dan menyediakan supir pribadi sehingga aku tidak
perlu mengurus SIM (seperti dirimu), serta mengizinkanku membuat patung besar
dinosaurus dihalaman.
Inilah mengapa aku hampir tidak
pernah (lagi) menyurati papa, hanya pesan singkat ponsel saja sekedar
mengingatkan dia untuk tidak lupa mencuci bajunya dan membayar tagihan telepon.
Tetapi aku rasa penting untuk memberitahu papa ku, kawan, tentang beberapa hal
singkat yang telah dan sedang terjadi disini. Aku harap ia tak kan bilang
mamaku, atau siapapun yang membocorkannya. Tukang pos akhir-akhir ini datang
lebih sering daripada biasanya, dan tinggal di dalam rumah dalam kurun waktu
lama sekali, serta mengenakan celana tukang pos yang sangat cabul dengan
potongan tinggi. Sedangkan mamaku berpakaian seperti wanita jalang, Aku hanya
berpikir papa ku perlu tahu, begitu juga dengan kau, Bambu hijau yang manis.
Salam Hangat,
Rachel.
Aku melipat kempali surat Rachel
yang sudah kesekian, dan menggigit muffin Michelle dengan gigitan lebar, sampai
pipiku buncit. Dan kembali memikirkan filosofis dari kejadian-kejadian barusan.
Kurasa Jostein Gaarder dalam buku Dunia Sophie-nya, sedikit banyak mempengaruhi
pola pikirku, berpikir filosofis. Itulah sebabnya aku takut membaca novel cabul
murahan.
Aku menerawang di atas pepohonan
anggur, langit yang indah. Sebelumnya aku pernah melihat langit yang lebih
indah, lebih bersih, dan lebih cerah, namun yang ini suasananya berbeda. Yang
ini terasa lebih bermakna. Satu hal yang ku hipotesis kan adalah, konsep.
Cinta adalah Konsep. Satu dari
arti harfiah yang kesekian dari arti-arti harfiah tentang cinta lainnya. Konsep
bahwa kau mencintai si anu, si itu, siapapun. Kau berpikir kau mencintainya
maka kau akan mencintainya, jika tidak maka tidak. Terlepas dari konsep apa
yang kau inginkan. Namun cinta tetaplah
cinta, seberapa sering kau memupuknya dengan harapan yang baik, kau akan
menemukan cinta yang baik. Walaupun mungkin bukan dengan orang yang kau
inginkan, namun cinta akan menemukan jalannya sendiri, dan setiap jalan itu
berbeda bagi setiap manusia. Tergantung (sekali lagi) konsep cinta macam apa
yang kau cari.
Sama seperti halnya kisah tentang
dua sejoli dalam kartu undangan tadi, atau kisah tentang orang tua Rachel, atau
mungkin kisah pribadiku sendiri, ha. Apakah
kami akan menyangka semua itu terjadi? Tidak. Apakah dua sejoli itu akan
menyangka mereka akan putus ditengah jalan sewaktu mereka berpacaran dulu?
Tidak. Sekali lagi, cinta adalah konsep. Dia bahkan bisa menjelma dalam
berbagai bentuk. Seperti bom waktu misal. Dan sebuah perpisahan yang nyata
adalah kepahitgetiran manusia dalam memaknai dan mencari cinta. Sebuah
kegalauan hadir karena tidak adanya ketegasan dalam cinta. Maka, bagi siapapun
yang ditinggalkan oleh cinta itu sendiri, bangkitlah, mungkin kau kehilangan,
tapi kusarankan untuk tidak melihat kehilangan dari sisi yang ditinggalkan,
yaitu dirimu, tapi lihatlah dari sisi yang meninggalkan, yaitu dia, mungkin dia
lebih bahagia saat ini, maka kau juga perlu berbahagia, dengan caramu yang baik
dan katakan pada masa lalu itu, karena aku sudah tidak mencintainya lagi, maka
aku harus lebih berbahagia agar menemukan cinta kembali yang dua kali lipat
lebih baik darinya.
Ku dedikasikan ini untukmu, Rachel.
Seperti kubilang, cinta terlalu rumit didefinisikan.
Juz 6 Surah An-Nisa' ayat 148 yang berbunyi:
BalasHapusلا یحب الله الجهر باالسوء من القول الا من ظلم وکان الله سمیعا علیما
artinya: "Allah tidak menyukai perbuatan buruk yang diucapkan secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui."
Ayat ini “melegalkan” perkataan buruk atau sumpah serapah yang dilakukan oleh orang orang yang teraniaya atau terzalimi, dan itu semua dikategorikan kedalam “doa”. Doa orang orang yang terzalimi adalah mujarab alias “tokcer” langsung didengar dan dikabulkan olehNya, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits, yang berbunyi:
“Hati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada suatu penghalang pun antara doa tersebut dan Allah.” (HR Bukhari).
Di tangan mereka, doa lebih tajam dari pedang dan lebih hebat dari pasukan bersenjata. Maka, hati-hatilah terhadap doa orang terzalimi! Karena jika sudah keluar dari mulut, ia akan berjalan menuju langit. Segera melampaui cakrawala, menembus angkasa, dan diijabahi Sang Maha kuasa.