Berkatalah Yang Baik, Atau Diam


Ujian kampus seudah berlalu, berkas pekerjaan sudah terkirim. Dua pekerjaan sekaligus. Bukan. Bukan aku tak fokus, aku tetap fokus pada tujuanku. Dan apapun yang Allah pilihkan untukku nantinya, semoga itu yang terbaik, yang membuatku menjadi lebih baik, manusia yang bermanfaat, manusia yang bertakwa pada Tuhannya, manusia yang bukan sekedar manusia tanpa pegangan dan tujuan.

Setiap hamba adalah pemaksa, aku tak munafik. Karena aku tahu, Tuhanku hanyalah Dia, tempatku meminta, dan hanya Dia satu selamanya.

Menghujat, suatu yang aku lakukan sebelum aku mengenal Nya dengan benar. Suatu yang ku tulis dalam jurnal lama ku.  Hingga entah untuk berapa lama. Lalu suatu hari tiba-tiba saja aku ingin duduk bersama Nya, berbicara dengan Nya, dan tak cukup seember air mata tumpah di hadapan Nya. Tak jelas untuk apa. Aku hanya belum siap. Jelas dulu itu bukan cinta, lalu saat aku mulai mencintai Nya, dan mencoba mencintai setiap keputusan Nya. Hingga setelah lama mencari dan duduk bersama Nya, barulah rasanya hati ini tak siap jika Ia tinggalkan.

Aku memang butuh manusia, tapi percayalah rasanya berbeda ketika kau duduk bersama Nya, saling menitipkan rindu untuk para utusan Nya, dan mengucapkan janji penghambaan yang syahdu.

Aku berterimakasih pada masa lalu, karena aku pun tahu dimana aku harus bersandar ketika menangis, karenanya aku pun tahu dimana menyimpan rahasia besarku, karenanya aku pun tahu dimana aku menyalurkan ide cerita dan tulisanku selain lusinan jurnalku, dan karenanya aku tahu aku harus berharap pada siapa.

Ah, cepat sekali rasanya, seperti kemarin aku masih bermain lumpur di sawah milik mbah kakung, sekarang lihat cacing saja harus menjerit dan menangis dulu. Efek trauma itu hebat ya, bisa membuat seseorang lebih waspada dan memiliki respon yang sigap walau agak berlebihan.

Kali ini, aku berfokus pada apa yang akan membuatku bermakna untuk tahun-tahun yang akan datang. Di tahun-tahun yang lalu aku hanyalah kesia-siaan, dan selalu salah, baik dalam langkah, perbuatan, lisan dan lainnya. Tapi bukan berarti sebuah kesalahan tak dapat dimaafkan, sebuah kesalahan tak dapat diperbaiki.

Kawan, ambilah contoh sebuah gelas. Gelas itu berisi air yang jernih, sepanjang hari, minggu, bulan dan tahun pun berlalu, air itu tak pernah di ganti, apa yang terjadi? Mengeruh, kotor dan mungkin menghitam. Tetapi bukan berarti harus gelas itu yang di buang, atau gelasnya yang diganti, kita bisa mengganti airnya bukan? Dengan air yang lebih jernih. Maka jadilah ia si gelas yang sama, yang dulu, hanya airnya yang berubah menjadi jernih.Bayangkan jika si gelas yang di buang, lalu dimana air jernih yang berisi kebaikan itu akan ditempatkan? Dalam hal ini, analogi gelas adalah tubuh kita.

Suatu hari seorang kawan bertanya padaku tentang bagaimana seseorang itu yakin dengan pasangannya hingga akhirnya menikah? Aku menjawab sekenaku, bahwa hidup ini tidak mudah, hidup ini tidak murah, semua manusia bebas menentukan pilihannya, selama itu yang diyakininya sebagai yang terbaik, dan selama ia mengambil keputusan tidak dalam keadaan tertekan dan di bawah pengaruh orang lain, tapi dalam keadaan berakal sehat dan mampu membaca peluang dalam hidupnya, terlebih dalam sebuah pernikahan yang paling utama adalah restu dan ridha dari orang tua dan keluarga. Setelah itu semua ada, maka saat itulah dia yakin akan pasangannya ditambah lagi niatnya adalah memenuhi sunnah Rasul, dan cinta diantara keduanya yang karena Allah.

Pertanyaan kedua, bagaimana jika dia memiliki dosa masa lalu, seperti pernah melakukan hubungan badan dengan mantannya. Aku menghela nafas panjang, dan berkata memang tidak ada batasan untuk tuntutan nafsu. Lalu aku ingat ucapan kawan lama ku, dan kuberikan jwaban itu padanya.
“Kau tau apa yang membedakan orang yang berhubungan badan antara suami – istri dengan yang bukan suami-istri?” ia menggeleng.
“Akad. Akadlah yang membedakannya, pada dasarnya aktivitas mereka, sama. Ya kan?”
Kami tersenyum. Aku menambahkan jikalau seseorang sudah memutuskan untuk menikah, maka tutuplah aib masa lalumu, bukan berarti seseorang itu berbohong, atau mencoba merahasiakannya, tetapi karena seseorang itu telah membuka lembaran baru dengan orang yang lebih soleh, lebih bertakwa, dan lebih mencintaimu. Jangan sekalipun membuka buku lama itu, kecuali untuk melihat sampulnya (yang tentu saja kau itu sudah mengetahui isinya) untuk menjaga dirimu dan kehormatanmu dimasa depan. Dan seseorang itu juga tidak perlu tahu aib pasangannya di masa lalu, agar tidak menimbulkan pertengkaran dan keraguan hati.

Entah darimana jawaban itu, entah dia mengerti atau tidak, entah aku salah atau benar, yang jelas hanya itu yang ada di kepalaku. Aku menelan ludah dan berdoa dalam hati semoga aku tidak berdosa atas jawabanku untuk kawanku itu.

Saat menulis inipun aku langsung sakit kepala. Astaga, separah itukah ketakutanku? Yang jelas aku tak akan bicara banyak lagi, jika tak ada yang menanyaiku. Diam itu lebih baik. 

Komentar