Percakapan Dua Samudera

Suatu hari, terdapat dua samudera yang saling berkawan, mereka berbincang di suatu pagi yang mulai beranjak siang. Samudera pertama, memiliki karakter ingin tahu, banyak bertanya, dan pemberani, walau samudera pertama lebih muda dan lebih kecil luasnya, ia tak pernah segan untuk bertanya kepada samudera kedua yang lebih dewasa, cerdas, bijak, dan penuh cinta.

“Tidakkah kau lelah?”  
 
“ Hidup ini tak terasa, hanya jika kau binasa.”

“Katakan padaku suatu hal”

“Awal segala kehendak dan kejadian bermula pada pemikiran.”

“Aku ingin berkelana, kau?”

“Jiwa memiliki kerinduan akan adanya tantangan, tapi aku akan tetap disini karena mereka akan tetap mengitariku.”

“Aku ingin makan, aku sangat lapar.”

“Pergilah ke pantai, karena disana aku telah mencicipi banyak rasa, dan tak jemu aku akan mereka.”

“Apa perasaanmu?”

“Di sebuah pantai, di pesisir barat, aku merasakan jejak sepasang kekasih yang sedang berbahagia, dan mereka menatapku sambil berbisik mesra, sayap cinta merekah dibalik punggung keduanya, dan alam menyaksikan dengan irinya.”

“Hanya itukah?”

“Tidak, di pesisir tenggara kujumpai dua kesedihan sekaligus, kesedihan pertama, seorang anak yang akan ditinggal ayahnya untuk bertugas, si anak meratapi kesedihannya dengan meronta-ronta di pelukan sang ibu, kesedihan kedua aku merasakan kaki-kaki sepasang kekasih yang masih belia, mereka bersedih karena akan berpisah.”

“Kenapa?”

“Karena mereka cinta, dan karena mereka berbeda.”

“Apa artinya?”

“Perbedaan hanyalah batas, namun batas akan tetap menjadi batas, jika kau keluar dari batas, artinya kau pergi, dan akan sedikit yang dapat menerimamu kembali.”


 Angin berhembus begitu semilir, terik matahari mulai menyengat permukaan keduanya. Samudera pertama berhenti bertanya, ia merasakan deburan ombak di ujung karang miliknya, ia menggelitik seorang gadis kecil yang bermain air di pantainya dan ia mencerna setiap perkataan samudera kedua. Samudera pertama memecah keheningan diantara keduanya dengan mencoba mengambil kebijakan dari pemikirannya sendiri.

“Kawan ku, kau lebih dewasa, kau pasti sependapat denganku jika air di permukaan lebih jernih, benar bukan?”

“Benar, tetapi itu hanya pantulan.”

“Hmm, air jernih, apa pendapatmu tentang mereka?”

“Yang tidak ada sumbatan disalurannya, bayangkan bila ia tersumbat, bukankah akan mengeruh?”

“Benar, dan aku tak kan membiarkan itu terjadi padaku. Tak kan kubiarkan lumpur dan debu menghalangi aliranku, jutaan kubik lumpur mengotoriku, miliaran kubik aku akan mengalirkan airku.”

“Ya, tentu, maka mengalirlah.”

“Benar.”

“Mengalirlah dengan massa jenis mu, mengalirlah dengan daya mu, dan angin akan membawamu, dan biarkan lumpur itu tergerus perlahan dan tak lagi mengahalangi dirimu.”

Kedua samudera itu kembali terdiam, titik-titik air mereka pun mulai menguap, menjadi partikel uap kecil yang terangkat menjadi gumpalan awan, angin kembali berhembus, teriknya matahari mereka rasakan bagai selimut penghangat. Mungkin di daratan sore nanti atau esok hari akan turun hujan, tapi siapa yang tahu, keduanya tak begitu peduli. Mereka masih terpaku pada percakapan masing-masing.

“Apakah kau mulai jenuh?”

“Tidak, sebagai samudera yang lebih muda aku merasa nyaman, terlebih berbincang denganmu sobat.”

“indikasi?”

“Aku hanya menjalankan tugasku sebagai makhluk Nya, aku hanyalah kumpulan air, wujud rahmat dari pemberian Nya untuk makhluk Nya.”

“Benar, aku setuju denganmu. Maka bersabarlah.”

“Ya, maka bersabarlah. Sobat, aku pernah bermimpi.”

“Tentang apa?”

“Pernahkah kau membayangkan, saat kau sadar, ternyata tak semua pengalamanmu adalah realita. Kecuali berbicara denganmu, itu bukan mimpi.”

“Maka berdirilah.”

“Apa?”

“Maka berdirilah. Sendirian.”

*****

Komentar