Definisi dan Sikap Dalam Bekerja (Bukan Sebuah Teori)


Baiklah, rasanya aku benci memberi jarak antara hidup, realita, dan tulisan.  Alasan aku menulis ditengah malam buta begini adalah adanya kesadaran  diri antara keinginan dan kenyataan.  Baik, belum lama ini aku menginginkan sebuah pekerjaan, pekerjaan yang dinilai sebagian orang, memiliki nilai lebih untuk orang yang menyandangnya. 

Latar belakang pendidikan memang  penting dalam sebuah jajaran profesi yang kau inginkan, agar sebuah ilmu menjadi manfaat. Itu mungkin alasan yang benar dan tepat. Tapi bagaimana jika kita –setelah lulus- dan ternyata kenyataannya justru tidak menginginkan pekerjaan di bidang yang telah ditekuni dan dipelajari? Baik, itu memang bukan aku. Adalah orang lain yang pikirannya telah terbaca oleh ku.

Aku meyakini, sebagian besar orang Indonesia yang melihat orang ini akan berkata, sayang sekali, atau mubazir, atau cobalah dulu bertahan, atau cobalah hal berbeda namun sesuai dengan bidangmu, atau sebagian justru cuek dan berkata “toh itu bukan saya.”

Betapa menyedihkannya manusia ini, karena dia akan terus merasa sendirian di jalur yang sempit, gelap, dan buta oleh cahaya itu. Dan... seperti yang sudah-sudah, aku justru berpikir takut pada orang macam ini,  disisi lain aku memintanya bertahan, tapi di sisi lain aku takut dia terdepak karena melawan arus. Tetap saja, namun dia bukan ikan salmon.
 Well, disini aku melihat suatu fenomena. Fenomena itu disebut keyakinan tentang pantas atau tidak pantasnya orang itu menerima suatu amanah (pekerjaan). Pekerjaan  (menurut definisiku) adalah rejeki yang diberi Tuhan lewat beberapa usaha (biasanya kurang jika  hanya satu usaha) dimana seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya saja, namun juga orang lain, dan terlebih masyarakat yang dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Seseorang yang merasa dia tahu akan kemampuannya seperti apa, dia akan merasa tidak pantas menerima pekerjaan prestisius dengan Cuma-Cuma apalagi lewat jalur belakang (praktik KKN, dan kaitan Keluarga).
Namun, seseorang yang telah bijak akan tidak sekedar mengetahui kemampuannya, namun juga telah mengetahui pantas atau tidak pantaskah pekerjaan itu diberikan padanya. Sehingga seseorang seperti ini kemungkinan besar akan berusaha memantaskan dirinya pada bidang yang sebenarnya tidak begitu ia sukai,terlebih jika ia belum begitu mahir dalam bidangnya, dan terlebih lagi jika ia mendapat amanah itu, coba saja perhatikan, merek a akan berusaha melakukan yang terbaik (versi mereka) untuk menyelesaikan pekerjaan itu sebaik mungkin, namun tidak ada salahnya kita menghargai bukan? Itulah sebuah perilaku psikomotor terhebat akibat sebuah tekanan yang disebut motivasi. 

Dan rata-rata orang yang merasa terpinggirkan ini (karena orang lain melihat dia lemah) mereka lebih jeli dalam melihat suatu peluang, menjadikan sesuatu hal remeh menjadi komoditas besar yang bernilai ekonomis untuk dapat memenuhi basic drives dan basic needs nya, dengan cara yang baik dan bermoral tentunya.
Seseorang seperti ini, mungkin tidak pantas mendapat pekerjaan prestisius dengan kemampuannya yang minim itu, tapi dia pantas dan berhak mendapat spirit dan support untuk kelangsungan hidupnya apapun jalan yang dia pilih, tentu saja yang bermoral.
Namun, ada juga orang yang merasa dirinya pantas, dan melihat orang lain tak pantas dalam suatu pekerjaan sehingga dia mencemooh beberapa orang yang dianggapnya berkemampuan rendah seperti kasus diatas, memang tidak semua orang, tapi akuilah, kau akan merasa bangga bukan walau itu hanya di tunjukan dalam sedetik? Tentu saja boleh, namun saran ku sebagai kawan, tetaplah merendah, ini adalah sebuah fenomena gunung es, kau akan terkejut suatu saat nanti. Bukan kejutan yang akan mengenakkan emosi mu tentunya.

Untuk tipikal orang seperti ini, adalah ciri orang bermuka dua, berwajah tembok, dan berkosmetik kecacatan mental, dia masih tersesat dalam dunia hitam, untuk itu jangan diikuti. Lalu apa yang bisa di ambil dari orang seperti ini? Adalah kecakapan,kedisiplinan (jika ia disiplin) dan profesionalitas yang ia tunjukan.
Apabila ciri ini telah diterapkan oleh orang yang bijak tadi, yang tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ia tidak tahu apa-apa dan hanya memiliki motivasi saja, akan menjadi suatu kombinasi dahsyat dalam bekerja yang kita sebut alat pertahanan diri (survive).

Survive dalam bekerja memang banyak menyita waktu, energi, perhatian dan juga tenaga, dalam hal ini pembentukan coping stress sebagai problem solving diperlukan, tentu saja coping stress yang bagus. Dan selalu ingat, jika kejadian ini tidak sampai membunuhmu, maka mereka (coping stress yang bagus, dan keinginan untuk tetap survive yang tinggi) akan membuatmu semakin kuat dalam menghadapi hal yang lain.

Komentar