Surat Untuk Rumah Kepompong Yang Kutinggali

Dalam beberapa hal, aku mencoba mengingat teman-teman lama dan baru ku. Kuputuskan duduk di dalam café ternama di perpustakaan pusat di kampus, menikmati danau dan angin semilir serta menjalani kebiasaanku minum kopi di hari jumat sembari berjam-jam menggambar dan menulis. Aku memutuskan minggu ini untuk mengubah jumat menjadi hari menulis, karena (sebagaimana aku dan teman-temanku di negeri dan Negara lain tahu) aku tidak begitu disiplin dalam menulis. Bahkan aku selalu tercecer dalam kuliah dengan Prof Marcello Pagano dari Universitas Harvard.

Sudah hampir sebulan, kurasa aku memang hampir saja melakukan hal-hal ekstrim. Mama benci aku terlalu sering menulis, dan itu menggangguku. Apa yang salah dengan menulis? Kurasa aku terkadang tidak tahu dan tidak tepat waktu. Kukirimkan banyak CV tentang tulisanku, tanpa memikirkan betapa banyak CV saat bulan lalu, terkadang menjadi penulis kau juga harus menjadi penyabar dengan tingkat konsentrasi ekstra. Dari semua itu, aku tak tahu dampak apa yang akan terjadi kedepannya, berapa banyak orang yang akan semakin membenciku dan bilang bahwa aku benar-benar aneh karena tergila-gila dengan laptop baru yang membuatku selalu menulis kembali isi jurnal harianku dan mempostingnya di blog. 

  Dari semua itu, aku tak begitu peduli dengan kalimat negative orang lain terhadaku. Aku merasa ini sudah waktunya aku bergerak, tak lagi mencintai dalam diam di dunia penulisan. Aku akan membuktikan cintaku dengan menulis, dan akan kujadikan ia kekasihku. Tanpa mengurangi rasa cintaku pada seorang pria tentunya, kau harus ingat kalau aku normal, oke.  

Selama ini, aku hanya menulis dalam rumah kepompong ku yang hangat, akankah aku meninggalkannya? Setelah merasa siap? Kurasa aku takkan menjual rumah kepompong ini, aku akan tetap tinggal disini, dan sesekali terbang keluar. Hingga rumah ini harus membutuhkan rumah baru lagi. 

Dan kau tahu, para penulis adalah makhluk yang paling rapuh, mereka tenggelam dalam kesendirian, mereka pucat dan lemah, bekerja keras diruangan masing-masing, dan berbicara pada orang yang tidak ada. Ego para penulis yang rapuh mengumpulkan berbagai cuplikan pujian yang disampaikan pada kami dari waktu ke waktu, menyimpannya, dan membantu kami dalam melewati hari menulis yang amat buruk. Pujian semacam itulah cara utama bagi penulis untuk belajar apakah usaha kami dihargai, atau setidaknya diperhatikan.  Aku mungkin akan jadi mahluk dengan pandangan berbeda, karena menjadi penulis bertentangan dengan akal sehat keluargaku, namun aku tak peduli. Karena bagiku, berbeda adalah luar biasa.  

Komentar