Pengkhianat, Jiwa Mati Yang Berjalan


Terlepas aku tidak tahu harus bicara dengan siapa lagi, maka aku akan berbicara pada kalian. Pada huruf-huruf bernyawa dalam detik yang tak berdosa. Dari kekacauan minggu ini (akibat ujian) hari inilah yang paling kacau. Dimana kau harus menemui hal-hal yang mengecewakan nuranimu, melukai ketulusanmu, menghancurkan kepercayaan dirimu akan keluhuran manusia. Pengkhianatan. Ya, tak ada yang lebih sakit dari rasanya dikhianati. Bahkan dengan orang yang belum kau kenal sekalipun. Seharusnya itu menyembuhkan dan cepat hilang bukan? Tapi tidak denganku. 

Aku berjalan bersama desau angin saat aku harus terhenti di tengah keramaian. Sepi sesaat, sedetik detakan jantung, kemudian ramai kembali. Ada seorang ibu dan anaknya yang berkata ia tidak memiliki ongkos untuk pergi ke Cikarang, awalnya aku tak percaya, lalu rasanya memang inilah takdirku, aku tetap membantunya, tentu dengan harapan agar itu semua bernilai sedekah, wallahu alam. Setelah itu, aku tidak pernah tahu, apakah aku dikhianati, atau tidak. 

Namun hal yang paling membuatku gundah adalah, Ketika adikku bercerita tentang kebiasaan buruk seseorang yang mulai terjadi di rumah. Aku rasa, setiap kali aku melakukan sidang (karena aku lebih suka keadilan ditegakkan, bukan hanya wacana) banyak sekali alasan berbulu domba berhati buaya yang terlontar. Aku merasa, kapan aku bisa keluar dari ranah ini? Tempat dimana seharusnya aku nyaman, namun justru diberi kotoran-kotoran tak bermoral. Sekali lagi, aku selalu dikhianati. 

Aku ingin terus mendaki,
Kebukit terjal tempat manusia takut pada mimpi,
Aku ingin terus berlari,
Ke arah berlawanan yang manusia laknat tak ingin hampiri,

Banyak sekali rencana yang akhirnya batal diminggu ini, bukan karena tak mampu atau tak mau, hanya beberapa tender masih mesih menumpuk, suasana ujian masih terasa kuat di rumah, dan lebih kuat saat dikampus. Aku suka kampusku ketika menjelang sore selepas hujan, begitu rimbun, begitu teduh, begitu gelap... dan begitu berkuasa. Dan tempat itulah yang membuatku untuk tetap mendaki, berlari sambil mewujudkan mimpi.

Aku ingin terus mendaki,
Lelah dan letih itu hanya untuk jiwa yang mati,,
Aku akan terus berlari,
Membawa luka nan perihnya dikhianati,

Berbagai hal penuh dengan misteri,
Aku tak akan pernah berhenti,
Untuk mengungkap hal yang hakiki,
Aku bahkan tidak peduli,
Dengan jutaan panah yang menembus hingga ruas terkecil di jari,
Aku tak akan pernah mati.

Ini semangatku, berada bersama liukan jemari bermain diatas keybord dan menulis berbagai jalinan huruf menjadi sebuah kata. Biarlah ini menjadi sejarah, karena terkadang aku merasa ajal begitu dekat sejengkal. Aku tak akan mati, semangatku, jiwaku, mimpiku. Merekalah hidupku.
Kukatakan sekali lagi, jikalau moral tak kau dapatkan dari rumah tempatmu berdiam, lantas dimana kau akan mendapatkannya kembali?


Jaga hatimu, jaga pikiranmu juga mimpimu,
Merekalah sayap-sayap tak kasat mata,
Yang pergi membawamu,
menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Komentar