Aku berkunjung ke rumah Rachel, tempat itu kini gelap, dengan pintu kayu yang menjulang namun tidak terlihat terawat. Dia masih sepupuku. Tapi aku tak berbicara apapun disana. Aku hanya menatapnya, dan dia hanya menatap lantai rumahnya yang bening seperti kaca. Tidak, sesungguhnya kami berbicara, melalui jendela mata berwarna coklat, mirip lensa mata ayahku, yang sayangnya aku tidak memiliki itu, milikku sedikit lebih gelap, coklat yang gelap campuran dari ayahku dan ibuku. Kurasa aku memiliki kelainan di keluarga ini.
Dia berjalan ke ujung meja, duduk disana mematung seperti mayat, dengan cekungan mata yang dalam dan pipi yang begitu tirus. Aku hampir tak mengenalinya ketika datang. Aku menatap ujung sepatu kets ku yang basah, Rachel menarik napas. Kami bertatapan. Aku melihatnya, melihat ketidaksetiaan kekasihnya, mencampakkannya, jijik padanya, dan aku muak hingga kuputuskan memejamkan mataku. Menggertakkan rahangku hingga gigi ku ngilu karena bertabrakan.

Aku menatap langit-langit rumah itu, dengan lukisan awan putih dan langit biru serta beberapa sayap malaikat dan lukisan Yesus dengan dombanya di dinding. Menatap Rachel, menatap sepatu kets, menatap lantai. Aku mencari, mencari hal yang ingin aku jadikan pegangan untuknya. Rachel yang malang menitikkan air mata. Lensa itu mengabur, berair. Kemudian hujan turun begitu lebat.
Komentar
Posting Komentar