Jarak Kaki Langit

Dalam satu atau dua hari sepertinya aku akan tetap seperti ini, merasa terbang dan melayang. Tak berpijak. Entah kenapa aku hanya merasa lebih kuat sekaligus rapuh dalam waktu yang bersamaan. Hanya satu nama, nama terakhir unik itulah yang membuatku ingin berlari riang seperti kegembiraan kijang-kijang di padang rumput.
Pertemuan pertama dipertengahan hari itu berjarak sejengkal dari rel-rel rantai besi. Aku melihat dia berjalan di peron. Detakan jam dan bunyi pluit itu terlalu riuh, namun sekejap merendah, lalu hilang tak berbekas. Hanya tertuju satu titik, dirimu. Inilah kisah antara jarak dan kaki langit.
Kau memanggilku. Memintaku untuk mengikuti langkah panjangmu yang anggun dan lembut. Aku mendengarmu berkisah tentang langit dan kehidupannya. Tentang mentari bersinar yang kau sebut itu fajar. Lalu tentang terik yang menyengat jika semakin ke timur. Lalu tentang senja sore yang cantik. Dan kau menarik lenganku, padahal aku menawarkan jemariku untuk bertaut dengan jemarimu. Ah.. itu mustahil kataku. Hingga kau tersenyum berkata, aku akan menunjukkan senja sore yang kubilang cantik. Aku mengikutimu, lalu kau menggenggam jemariku. Percayalah, aku rasa sayap malaikatku mulai terbuka dan siap untuk mengajakmu terbang hingga ke Santorini.
Kau melanjutkan kisahmu tentang langit dan kehidupannya. Tentang kaki-kaki langit yang menuntun langkahmu tiap waktu. Tentang keindahan alam yang bercinta dengan waktu. Tentang kemunafikan yang disajikan bagai opera murahan diatas karpet merah. Tentang kisah perselingkuhan kijang dengan buaya yang bagimu itu mirip perbuatan keji. Tentang ketulusan dari sesuatu yang tak biasa namun sederhana dan seringkali tak dianggap. Tentang mimpi yang mampu tumbuh lebih besar dan kuat dari jajaran pohon Ek di pegunungan Rocky, hingga kau yakin alam akan membantu konspirasi mimpi itu menjadi nyata. Tentang cinta yang kau baru bangun fondasinya dengan batu-batu keikhlasan dan butiran pasir kepercayaan. Dan bagiku kisahmu lebih dari sekadar kisah. Itu roman terindah yang pernah kudengar. Aku tak ingin berhenti.
Kau tersenyum melihat wajahku yang terlihat lelah. Melepaskan scarf hitammu dan mengalungkannya dileherku, menjalinkan simpul manis yang cocok dengan warna mataku. Angin laut terasa lebih dingin. Awan mendung melingkupi warna jingga diujung kaki langit. Jaraknya terasa dekat dengan kita, dan kau mengajakku pulang. Meninggalkan senja, menuju malam kelam berhujan.
Peron-peron mulai sepi, kuda-kuda besi melepaskan kekangnya menuju kota-kota lama yang mati dan hidup. Aku melangkah menjauhimu memasuki gerbong-gerbong tua berhantu yang dingin. Menatapmu lalu kembali melangkah.

Komentar