Aku ingin berbicara tentang suatu
hal padamu. Ketika jari jemari mulai bertemu, bertaut, dan berjalin
berkelindaan merasakan desah-desah aliran darah ditiap partikelnya. Haruskah cermin berkata sesungguhnya jika mata
hanya ingin menatap satu bayangan? Haruskah mata mengalah ketika bayangan mulai
menolak untuk ditatap? Aku tak pernah ingin kalah, tidak selama aku tetap ingin
menatap.
Detik itu kita terasa asing,
detik itu kita terasa tak saling memahami. Lalu semua terjadi, alam membawa
aroma yang berbeda, ada warna-warni yang berbeda. Aku melihat warna hijau,
biru, putih, bahkan merah muda. Aku terengkuh oleh tangan-tangan malaikat itu, aku
bisa merasakan hidungnya berada dibelakang tengkuk leherku, menghirup aroma
surgawi ala manusia rapuh sepertiku. Harusnya aku takut, harusnya kuangkat gaun
ku tinggi-tinggi dan berlari menjauh. Tapi tidak, aku justru menyentuh
tangan-tangan malaikat itu, merasakan kehadirannya. Kembali menyentuhnya, tak
ingin melepasnya.
Aku tahu jantungku berdetak tak
biasa. Seharusnya aku malu. Tapi aku justru melayang saat menatap mata itu, aku
melesat jauh lebih tinggi hingga tak terjangkau saat kedekatan itu makin nyata.
Tapi yang terjadi, aku justru mendekapnya, malaikat tanpa nama.
Lalu detik berikutnya aku
menjajaki tanah-tanah basah dengan debur ombak yang riuh. Menatap jauh di lepas
pantai selatan berpasir keruh. Menatap keheninganku sendiri diatas keramaian
manusia rapuh lainnya. Detik lainnya aku mulai menyadari, aku harus pergi,
tempatku bukan disini. Hal terberat yang kulakukan, berpisah dengan alam dimana
aku mulai merasa nyaman.
Detik berikutnya adalah detik
terjauh. Aku menatap mata malaikat tanpa nama itu, inilah pertama kalinya. Aku
berbalik, melangkah menuju alamku. Berusaha tetap melangkah. Berusaha tetap
bernafas. Berusaha tak menjatuhkan berlian murni dari mata ku. Itulah perjumpaan pertama kita
sayang.
Komentar
Posting Komentar