Aku harus menuliskan ini Rachel, maaf.
Mungkin aku telat, 11 tahun lebih sudah
kematianmu, dan aku tak pernah mengungkapkan kenapa kau rela mati di jalan
(yang dianggap negaramu) salah. Aku harus menceritakan semua keadaanmu saat
itu, karena kau teman baikku sejak aku membaca transkrip surat mu berbahasa
Amerika sedang aku masih berada di 'penjara suci' asrama sekolahku, untuk itu
dunia harus tahu, bahwa tanah Palestina bukan saja dari darah syuhada
rakyatnya, tetapi juga ada darah Amerika dan mungkin darah pejuang negara lain
disana.
Sebelas tahun lebih sudah, saat aku duduk membaca
artikel bahwa kau telah tewas terlindas buldozer tentara Israel. Kau
menyebutnya Israel Defense Force (IDF). Kurasa, setelah keberangkatan mu
ke Palestina, kau sudah lupa perbincangan kecil kita di ujung aula tempat aku
belajar, bersama belasan aktivis internasional, kau membawa bendera kedamaian.
Kau bertekad untuk membawa suara "tolong hentikan ini". Sedang aku
hanyalah gadis yang menatapmu terkagum-kagum dengan seragam putih-biru dan
sesekali berbicara dengan bahasa asing terbata-bata.
Sebelas tahun lebih sudah, kau membujur kaku di
peti matimu dengan sisa tulang tengkorak dan bekas tulang punggung mu yang
patah akibat buldozer tentara Israel itu. Dan selama 11 tahun itu, hanya
segelintir orang yang sempat membaca transkrip menjelang 17 hari kematianmu.
Selama sepuluh tahun ini pun, aku belum melupakanmu Rachel. Idemu, gaya
tulisanmu, puisimu, dan semangatmu, semua kini terserap dengan jelas pada
diriku dan karya-karyaku.
Kali ini, ijinkan aku Rach,, ijinkan aku untuk
untuk mengutip semua transkripmu, (meski aku menemukan tulisan harianmu di
tukang loak Jakarta, tapi serasa aku bertemu teman lama), agar semua orang
(baik sengaja, terpaksa, atau tidak terpaksa dan berniat) membaca ini
Rachel.
Setiap orang yang pernah mendengar namamu, Rachel
Corrie, anak bungsu dari Craig dan Cindy Corrie yang lahir pada tahun 10 April
1979, pasti tahu persis apa yang terjadi pada 16 Maret 2003. Dan aku akan
membuat transkrip surat elektronik yang kau kirimkan dari Rafah kepada ibumu di
Olympia pada tanggal 27 Februari 2003 (dan yang kini tertera di biografimu, Let Me Stand Alone). Seharusnya, setiap
orang bisa melihat visimu dalam tulisan itu. Seharusnya setiap orang sudah tahu
apa yang dapat mereka lakukan atas nama kedamaian. Aku berharap kau juga bisa
membacanya kembali Rachel, aku berharap kau berumur panjang untuk merasakan
kanker paru-paru akibat gaya merokok mu yang kau dapat dari kekasih mu di
Olympia, Washington. Tapi kau akan tertawa bila tahu pikiranku, kau tertawa
dengan rambut merah kekuningan itu tergerai sebahu.
Rafah, 27 Februari 2003,
Mama,
Cinta mama, sangat merindukanmu. Aku bermimpi
buruk tentang tank-tank dan buldoser-buldoser di luar rumah kita. Sementara aku
bersama mama di dalam rumah itu. Kadang adrenalinku bereaksi sebagai anestetik
selama berminggu-minggu. Lalu saat sore atau malam hari ia menyerangku lagi.
Inilah sepengga fakta keadaanku di sini.
Benar-benar ku khawatirkan keadaan orang-orang di
sini. Kemarin, kusaksikan seorang bapak menuntun dua anak kecilnya, tergopoh-gopoh
keluar rumah menuju barisan tank, sniper di menara, berikut barisan buldoser
dan jeep yang bergerak. Dia merasa rumahnya segera diledakkan. Jenny dan aku
tinggal disebuah rumah bersama beberapa perempuan dan dua bayi mungil. Kami
keliru menerjemahkan, hingga bapak itu berpikir rumahnya akan diledakkan, meski
rumahnya terletak di jalanan kolonis berdekatan dengan pemukiman (illegal
zionis) Gush Katif.
Menurutku, peledakkan ini hanya menunggu waktu.
Kenyataannya militer Israel meledakkan tanah di dekat rumah pria itu. Di
wilayah ini, pada minggu lalu, sekitar 150 orang dikepung di luar pemukiman
mereka. Tembakan senjata mengarah ke atas kepala dan sekitar mereka. Pada saat
yang sama, tank-tank dan buldoser-buldoser menghancurkan 25 perkebunan yang
menjadi sumber penghidupan lebih dari 300 orang.
Aku khawatir jika pria itu merasa lebih aman
dengan keluar menembus barisan tank berasama anak-anaknya daripada tetap di
rumah. Bagaimana jika mereka ditemab? gundah ini sebenarnya terjadi setiap
hari. Tapi, ayah bersama dua anaknya yang tercekam mau itu jauh lebih
mencemaskan, karena kumerasa bersalah atas miskomunikasi kami, mungkin itu
membuatnya berkeputusan keluar.
Kurenungi ujaran mama ditelepon tentang kekerasan
orang-orang Palestina yang tak akan membantu situasi di sana. Enam puluh ribu
pekerja dari Rafah dua tahun lalu bekerja di Israel. Kini hanya 6000 orang yang
bisa pergi ke Israel untuk mencari sesuap nasi. Dari ke 6000 itu sebagian
besarnya telah berhenti, karena tiga pos pemeriksaan antara Rafah dan Ashkelon
(kota terdekat Israel) membuat perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu 40
menit, kini menjadi 24 jam atau sama sekali mustahil ditempuh.
Apalagi Rafah yang pada 1999 disebut sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi, kini sepenuhnya dihancurkan; Bandara Internasional
Gaza (landasannya dibuldoser dan ditutup total), jalur perdagangan dengan Mesir
(kini diawasi menara raksasa sniper Israel di tengahnya), akses ke lautan
(telah diputus total dalam 2 tahun terakhir oleh sebuah pos pemeriksaan dan
pemukiman ilegal Gush Katif), desa Mawassi, ditutup untuk pintu masuk dan hanya
dibuka untuk keluar bagi mereka yang berusia antara 14-35 tahun.
Sumur-sumur di pemukiman Yahudi lebih dalam
daripada sumur-sumur di sini. Pemukiman-pemukiman di jalur Gaza terletak di
barat, di atas tempat penyulingan air bersih. Kemudian IDF menghancurkan kedua
sumur itu. Jumlah rumah yang dihancurkan sejak permulaan Intifada ini meningkat
hingga sekitar 600 rumah. Semua itu milik sebagian warga yang tidak terkait
dengan perlawanan, mereka memang tinggal di sepanjang perbatasan. Mayoritasnya,
adalah rumah-rumah miliki para pengungsi, yakni orang-orang yang tiba disini
pada 1948 ketika terusir dari rumah-rumah mereka yang di rampas Israel, yaitu
tanah historis Palestina. Rafah pada 1948 adalah tempat tiga keluarga besar
dengan populasi sekitar 600 jiwa. Sebagian besar keluarga itu direlokasi sejak
kedatangan mereka di Rafah, sebagian besar secara khusus tinggal di kamp-kamp
pengungsi Canada dan Brazil yang telah dipindahkan kembali ke Jalur Gaza ketika
Israel mundur dari Sinai. Selain itu, pembunuhan yang terjadi setiap beberapa
hari adalah pemandangan rutin disini. Menurutku, Rafah sekarang secara resmi
bisa dikatakan tempat termalang di dunia.
Disini seharusnya terdapat sekelompok masyarakat
kelas menengah, seperti beberapa saat lalu. Kubayangkan mama membaca tragedi
ini di buku Amira Haas. Telah kita dapati ekspor bunga Gaza ke Eropa tertunda
dua minggu di pos perbatasan Erez. Keamanan menjadi dalih. Bisa mama bayangkan nilai
bunga-bungan itu di Eropa setelah tertunda selama dua minggu? Inilah sebab
matinya pasar bunga bagi Gaza. Belum cukup, buldoser-buldoser datang melindas
taman-taman dan pertanian-pertanian warga. Lantas apa yang tersisa bagi warga
disini? Tolong jelaskan padaku jika mama bisa. Aku tidak bisa.
Komentar
Posting Komentar