Surat Gadis Amerika di Tanah Palestina Untuk Dunia (3)


Semua situasi yang kucoba jelaskan itu, adalah sebuah timbunan masif, penghancuran bertahap terhadap kemampuan sekelompok manusia agar tak bertahan hidup. Inilah yang kusaksikan disini. Pembunuhan-pembunuhan, serangan-serangan roket, dan anak-anak yang ditembaki adalah kekerasan-kekerasan. Tapi, jika kupusatkan perhatian kepada semua itu, aku khawatir kehilangan konteksnya. Mayoritas orang yang hidup disini, meski mereka berkemampuan ekonomi untuk melariakn diri, meski mereka ingin menyerah dalam mempertahankan tanah-tanah mereka dan pergi meninggalkannya begitu saja (yang merupakan tujuan kejahatan Sharon), tetap tak bisa pergi. Karena, mereka bahkan tak bisa memiliki akses ke Israel untuk memohon visa, karena negara-negara tujuan mereka tak akan mengijinkan mereka masuk (baik itu negara kita (Amerika), maupun negara-negara Arab). Jadi menurutku, ketika semua saran untuk bertahan hidup dirampas dalam sebuah blokade (terhadap Gaza), di sana orang-orang terisolasi, maka itu sudah masuk kualifikasi genosida. Andai mereka bisa keluar sekalipun, ini tetaplah genosida. 

Mungkin mama bisa melihat kembali definisi genosida menurut hukum internasional. Aku tak mengingatnya saat ini. Kuharap dapat menjelaskan ini secara lebih baik. Aku tak suka gunakan kata-kata emosional tersebut. Aku tahu, dalam hal ini mama mengenalku. Aku sangat menghargai kata-kata. Aku berupaya menjelaskannya dan membiarkan orang-orang menarik kesimpulan mereka sendiri. Aku hanya memikirkan itu. Jika tidak jujur, aku tak akan bertanya tentang ketidakadilan ketika orang-orang bertanya tentang kekerasan orang-orang Palestina. Aku akan bicara tentang melawan sebuah genosida. 

Berbicara tentang kata-kata, aku sangat membenci polarisasi “baik” dan “jahat”, khususnya ketika diterapkan kepada manusia. Menurutku, kata-kata itulah musuh pemikiran kritis. Kata-kata itulah sebuah pelarian dari upaya menemukan solusi, menjadi agitasi untuk memperpanjang kekerasan. Sejak dulu, aku terus berpikir dari sebuah asumsi inti positif; di atasnya kini ku artikulasikan pikiranku, keyakinan bahwa kita semua secara esensial adalah sama, bahwa perbedaan kita, sedikt dan banyaknya disebabkan oleh situasi. Keyakinan itu berlaku bagi setiap orang – Bush, bin Laden, aku, Mama, Papa, Sarah, Chris, Gram, Tony Blair, Uncle Craig, orang-orang Palestina, dan setiap orang dari agama apapun. 

Aku tahu ada peluang bahwa asumsi di atas salah. Namun, asumsi itu pantas karena selalu mengarah ke pertanyaan-pertanyaan dan analisis dinamika kekuatan. Itu cara benar melindungi orang-orang dari konsekuensi tindakan-tindakan mereka. Asumsi itu juga pantas karena mengarah ke beberapa level pengampunan, entah itu bisa dibenarkan atau tidak. Ia juga mengarah ke penolakan segera atas analisis yang bersandar kepada penjelasan etnosentrik bagi perilaku setiap orang. 

Kadang, kupertanyakan asumsi ini. Reagan, menurutku, sangat mungkin tak benar-benar paham apa yang telah dilakukannya terhadap rakyat di seluruh Amerika Latin. Kennedy mungkin juga tak mengerti apa yang telah dilakukannya terhadap rakyat di Asia Tenggara. Menurutku, Bush tak sepenuhnya paham. Tapi peluang ini semakin mengecil. Kepada orang-orang seperti Kissinger, Cheney, dan Ariel Sharon aku mulai bertanya. 

Dengan terisolasi disini (Rafah), aku mulai bertanya, berapa banyak orang di luar sana yang tahu? Ku katakan bahwa mayoritas kita yang secara pasif mendukung genosida ini tak sadar atas apa yang terjadi. Aku tak merasa ada pembenaran apapun. Tapi saat malam kadang sedikit ku protes itu. Aku tak merasa ini memiliki banyak arti. Pastinya ini tak berarti bagi orang-orang Palestina. Egoku sendiri dan kehendak optimisku ingin percaya ; orang yang merdeka sekalipun, tak bisa hanya diam menyaksikan hal ini. Apa yang sedang kita bayar untuk semua peristiwa di sini adalah kejahatan yang nyata. Kejahatan terbesar yang pernah kusaksikan langsung. Mungkin ketidakadilan kelas yang bercokol di dunia ini dan konsekuensi dari penghancuran hidup kelas pekerja adalah kejahatan yang lebih besar. Tapi berada di sini membuatku sadar apa arti menjadi petani di Kolombia pada masa kini.
Bagaimanapun, aku tak sistematis, sekedar ingin menulis kepada mamakudan menyampaikan kepadanya bahwa aku sedang menyaksikan genosida kronis dan berbahaya. Aku sangat takut dan terus mempertanyakan keyakinan fundamentalku tentang kebaikan manusia. Genosida harus berhenti. Menurutku, ide yang baik bagi kita semua adalah meninggalkan segala sesuatu untuk mengabdikan hidup kita demi menghentikannya. Aku tak merasa bahwa melakukan ini adalah ekstrim. Aku masih ingin berdansa dengan Pat Benatar dan punya pacar, serta membuat komik bagi rekan aktivisku. Tapi aku juga ingin genosida ini berhenti. 

Ketidakpercayaan dan kengerian adalah apa yang kurasakan. Kecewa. Aku kecewa karena ini realitas tak bermutu dari dunia kita. Kita, sejatinya berpartisipasi di dalamnya. Ini sama sekali bukan hal yang kuminta ketika terlahir ke dunia ini. Ini sama sekali bukan keinginan orang-orang disini ketika mereka terlahir ke dunia ini. Ini bukan keinginan mereka sekarang. Ini buka dunia yang Papa dan Mama inginkan ketika kalian berdua memutuskan untuk melahirkan aku ke dunia ini. Bukan ini dunia yang aku inginkan saat aku berusia dua tahun dan menatap Capitol Lake seraya berkata, “Dunia ini sangat luas. Kumau jelajahinya!” Aku tak ingin mendatangi sebuah dunia yang disana aku bisa hidup nyaman tanpa upaya sama sekali, lalu lupa total akan partisipasiku dalam sebuah genosida, ledakkan-ledakkan dahsyat di tempat lain yang jauh. 

Mungkin aku terlihat gila saat memaksa pergi ke Rusia beberapa tahun lalu, meski situasinya tidak seperti ini. Ku tahu mama bertanya, apakah pergi ke Rusia merupakan sesuatu yang buruk, karena tampaknya hal itu akan menghancurkanku. Menurutku, alasanku menjadi gila bukan karena Rusia buruk bagiku, tapi karena kecewa ketika kutahu pemerintahku membohongiku tentang orang-orang Rusia. Juga karena sebuah dunia penuh ketidakadilan (lewat pengamatan atas investasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dalam mengambil sumber daya alam dari Rusia yang kini “demokratis”, serta kehancuran ekonomi Rusia di tengah perlombaan senjata. 

Aku sekali lagi menemukan diriku berpartisipasi menindas bangsa lain. Saat nanti kembali dari Palestina, mungkin kumiliki mimpi buruk dan terus merasa bersalah karena tidak berada di sini (Palestina). Namun, aku bisa menyalurkan itu ke hal lain. Datang kesini adalah salah satu kerja terbaik yang pernah kulakukan. Jadi, bila aku terdengar gila, atau jika militer Israel meninggalkan kecenderungan rasialisnya untuk tidak melukai orang-orang kult putih, tolong cantumkan tepat pada kenyataan, bahwa aku berada di tengah genosida yang secara tak langsung aku juga mendukungnya. Karenanya pemerintahku harus sangat bertanggung jawab!

Aku cinta Mama dan Papa. Maaf atas perdebatan ini.
Baiklah beberapa orang yang tak ku kenal di sisiku memberiku beberapa kacang polong. Jadi, aku harus memakannya dan berterimakasih pada mereka. Rachel.


Akhirnya, setiap orang bisa membaca guratan penamu yang terakhir sebelum buldoser itu meremukkan tengkorakmu Rachel. Seandainya kau tahu, di negara ku, setiap orang berselisih pendapat, tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Bahkan, atas nama perdamaian pun mereka masih membawa spanduk kepentingan. Semoga dengan beberapa orang yang rela membaca tulisanmu, jadi mengetahui, kenapa Palestina di sorot begitu tajam, dan Israel selalu di kecam. Ini bukan soal agama atau SARA. Ini soal kemanusiaan. 

Komentar