Semua situasi yang kucoba jelaskan itu, adalah
sebuah timbunan masif, penghancuran
bertahap terhadap kemampuan sekelompok manusia agar tak bertahan hidup. Inilah
yang kusaksikan disini. Pembunuhan-pembunuhan, serangan-serangan roket, dan
anak-anak yang ditembaki adalah kekerasan-kekerasan. Tapi, jika kupusatkan
perhatian kepada semua itu, aku khawatir kehilangan konteksnya. Mayoritas orang
yang hidup disini, meski mereka berkemampuan ekonomi untuk melariakn diri,
meski mereka ingin menyerah dalam mempertahankan tanah-tanah mereka dan pergi
meninggalkannya begitu saja (yang merupakan tujuan kejahatan Sharon), tetap tak
bisa pergi. Karena, mereka bahkan tak bisa memiliki akses ke Israel untuk
memohon visa, karena negara-negara tujuan mereka tak akan mengijinkan mereka
masuk (baik itu negara kita (Amerika), maupun negara-negara Arab). Jadi
menurutku, ketika semua saran untuk bertahan hidup dirampas dalam sebuah
blokade (terhadap Gaza), di sana orang-orang terisolasi, maka itu sudah masuk
kualifikasi genosida. Andai mereka bisa keluar sekalipun, ini tetaplah
genosida.
Mungkin mama bisa melihat kembali definisi genosida menurut hukum internasional. Aku
tak mengingatnya saat ini. Kuharap dapat menjelaskan ini secara lebih baik. Aku
tak suka gunakan kata-kata emosional tersebut. Aku tahu, dalam hal ini mama
mengenalku. Aku sangat menghargai kata-kata. Aku berupaya menjelaskannya dan
membiarkan orang-orang menarik kesimpulan mereka sendiri. Aku hanya memikirkan
itu. Jika tidak jujur, aku tak akan bertanya tentang ketidakadilan ketika
orang-orang bertanya tentang kekerasan orang-orang Palestina. Aku akan bicara
tentang melawan sebuah genosida.
Berbicara tentang kata-kata, aku sangat membenci
polarisasi “baik” dan “jahat”, khususnya ketika diterapkan kepada manusia.
Menurutku, kata-kata itulah musuh pemikiran kritis. Kata-kata itulah sebuah
pelarian dari upaya menemukan solusi, menjadi agitasi untuk memperpanjang
kekerasan. Sejak dulu, aku terus berpikir dari sebuah asumsi inti positif; di
atasnya kini ku artikulasikan pikiranku, keyakinan
bahwa kita semua secara esensial adalah sama, bahwa perbedaan kita, sedikt dan
banyaknya disebabkan oleh situasi. Keyakinan itu berlaku bagi setiap orang –
Bush, bin Laden, aku, Mama, Papa, Sarah, Chris, Gram, Tony Blair, Uncle Craig, orang-orang
Palestina, dan setiap orang dari agama apapun.
Aku tahu ada peluang bahwa asumsi di atas salah.
Namun, asumsi itu pantas karena selalu mengarah ke pertanyaan-pertanyaan dan
analisis dinamika kekuatan. Itu cara benar melindungi orang-orang dari
konsekuensi tindakan-tindakan mereka. Asumsi itu juga pantas karena mengarah ke
beberapa level pengampunan, entah itu bisa dibenarkan atau tidak. Ia juga mengarah
ke penolakan segera atas analisis yang bersandar kepada penjelasan etnosentrik
bagi perilaku setiap orang.
Kadang, kupertanyakan asumsi ini. Reagan,
menurutku, sangat mungkin tak benar-benar paham apa yang telah dilakukannya
terhadap rakyat di seluruh Amerika Latin. Kennedy mungkin juga tak mengerti apa
yang telah dilakukannya terhadap rakyat di Asia Tenggara. Menurutku, Bush tak
sepenuhnya paham. Tapi peluang ini semakin mengecil. Kepada orang-orang seperti
Kissinger, Cheney, dan Ariel Sharon aku mulai bertanya.
Dengan terisolasi disini (Rafah), aku mulai
bertanya, berapa banyak orang di luar sana yang tahu? Ku katakan bahwa
mayoritas kita yang secara pasif mendukung genosida ini tak sadar atas apa yang
terjadi. Aku tak merasa ada pembenaran apapun. Tapi saat malam kadang sedikit
ku protes itu. Aku tak merasa ini memiliki banyak arti. Pastinya ini tak
berarti bagi orang-orang Palestina. Egoku sendiri dan kehendak optimisku ingin
percaya ; orang yang merdeka sekalipun, tak bisa hanya diam menyaksikan hal
ini. Apa yang sedang kita bayar untuk semua peristiwa di sini adalah kejahatan
yang nyata. Kejahatan terbesar yang pernah kusaksikan langsung. Mungkin ketidakadilan
kelas yang bercokol di dunia ini dan konsekuensi dari penghancuran hidup kelas
pekerja adalah kejahatan yang lebih besar. Tapi berada di sini membuatku sadar
apa arti menjadi petani di Kolombia pada masa kini.
Bagaimanapun, aku tak sistematis, sekedar ingin
menulis kepada mamakudan menyampaikan kepadanya bahwa aku sedang menyaksikan
genosida kronis dan berbahaya. Aku sangat takut dan terus mempertanyakan
keyakinan fundamentalku tentang kebaikan manusia. Genosida harus berhenti.
Menurutku, ide yang baik bagi kita semua adalah meninggalkan segala sesuatu
untuk mengabdikan hidup kita demi menghentikannya. Aku tak merasa bahwa
melakukan ini adalah ekstrim. Aku masih
ingin berdansa dengan Pat Benatar dan punya pacar, serta membuat komik bagi
rekan aktivisku. Tapi aku juga ingin genosida ini berhenti.
Ketidakpercayaan
dan kengerian adalah apa yang kurasakan. Kecewa. Aku kecewa karena ini realitas
tak bermutu dari dunia kita. Kita, sejatinya berpartisipasi di dalamnya. Ini
sama sekali bukan hal yang kuminta ketika terlahir ke dunia ini. Ini sama
sekali bukan keinginan orang-orang disini ketika mereka terlahir ke dunia ini. Ini
bukan keinginan mereka sekarang. Ini buka dunia yang Papa dan Mama inginkan
ketika kalian berdua memutuskan untuk melahirkan aku ke dunia ini. Bukan ini
dunia yang aku inginkan saat aku berusia dua tahun dan menatap Capitol Lake
seraya berkata, “Dunia ini sangat luas. Kumau jelajahinya!” Aku tak ingin
mendatangi sebuah dunia yang disana aku bisa hidup nyaman tanpa upaya sama
sekali, lalu lupa total akan partisipasiku dalam sebuah genosida, ledakkan-ledakkan
dahsyat di tempat lain yang jauh.
Mungkin aku terlihat gila saat memaksa pergi ke
Rusia beberapa tahun lalu, meski situasinya tidak seperti ini. Ku tahu mama
bertanya, apakah pergi ke Rusia merupakan sesuatu yang buruk, karena tampaknya
hal itu akan menghancurkanku. Menurutku, alasanku menjadi gila bukan karena
Rusia buruk bagiku, tapi karena kecewa ketika kutahu pemerintahku membohongiku tentang
orang-orang Rusia. Juga karena sebuah dunia penuh ketidakadilan (lewat
pengamatan atas investasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dalam mengambil
sumber daya alam dari Rusia yang kini “demokratis”, serta kehancuran ekonomi
Rusia di tengah perlombaan senjata.
Aku sekali lagi menemukan diriku berpartisipasi
menindas bangsa lain. Saat nanti kembali dari Palestina, mungkin kumiliki mimpi
buruk dan terus merasa bersalah karena tidak berada di sini (Palestina). Namun,
aku bisa menyalurkan itu ke hal lain. Datang kesini adalah salah satu kerja
terbaik yang pernah kulakukan. Jadi, bila aku terdengar gila, atau jika militer
Israel meninggalkan kecenderungan rasialisnya untuk tidak melukai orang-orang
kult putih, tolong cantumkan tepat pada kenyataan, bahwa aku berada di tengah
genosida yang secara tak langsung aku juga mendukungnya. Karenanya pemerintahku
harus sangat bertanggung jawab!
Aku cinta Mama dan Papa. Maaf atas perdebatan
ini.
Baiklah beberapa orang yang tak ku kenal di
sisiku memberiku beberapa kacang polong. Jadi, aku harus memakannya dan
berterimakasih pada mereka. Rachel.
Akhirnya, setiap orang bisa membaca guratan penamu yang terakhir sebelum buldoser itu meremukkan tengkorakmu Rachel. Seandainya kau tahu, di negara ku, setiap orang berselisih pendapat, tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Bahkan, atas nama perdamaian pun mereka masih membawa spanduk kepentingan. Semoga dengan beberapa orang yang rela membaca tulisanmu, jadi mengetahui, kenapa Palestina di sorot begitu tajam, dan Israel selalu di kecam. Ini bukan soal agama atau SARA. Ini soal kemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar