Kisah Belahan Jiwa

Aku sangat ingin berterima kasih, belahan jiwa. Tatapan terakhir kali kita bercinta adalah di atas jerami yang tersusun rapi dengan bermatraskan cahaya jingga dari jendela. Lalu kita berpisah. Pisah! Tanpa ucapan tanpa senyuman. Terimakasih, itu menyakitkan, lumayan.

Aku masih ingat, belahan jiwa, kau membelai ku ketika aku lelah, berlari demi kenyataan dan bukan berlari dari kenyataan, kau membiarkan aku bersandar dipelukan ketika aku marah, hampir menumpahkan segala keranjang sampah kehidupan di atas kepalamu. Lalu semua buyar! Hilang jadi angan fatamorgana di ujung senja.

Aku masih bisa merasai hatimu, belahan jiwa, kau membenci hal-hal yang disukai oleh orang lain, dan kau menyukai hal-hal yang cenderung dihindari orang lain. Tak sadarkah Kau? Kita bagai dua sisi koin, berada di tempat yang sama, namun dalam pose yang berbeda. Aku merasaimu, dengan tanganku, dengan mataku, dan bahkan hatiku. Aku masih bisa merasakannya, apa istilah kerennya, hmm.. lingerie taste? Ku harap aku salah menulisnya.

Punggung itu berbalik, belahan jiwa, meninggalkan aku yang terkapar lemas di atas tumpukkan jerami kering. Dan bahkan wangi jerami ini jadi lebih erotis dari sebelumnya. Aku harus bangkit susah payah dan kembali meniti jalan hidup tanpamu, belahan jiwa. Aku kosong, bagai tong-tong besar yang isinya telah terkuras, berjalan gontai penuh dendam dan amarah di hati. Satu hal saat aku menjadi mayat hidup, telegram itu menghampiri.

“Tunggu aku kembali, bulu kecil yang manis. Aku merindukan perjumpaan kita, jangan berpaling. Atau nafasku tersengal dan kau gila.”

Hanya sebaris, namun entah mengapa mungkin mesin uapku berganti bahan bakar dengan gin. Aku bersemangat. Aku melawan tornado. Tornado! Belahan jiwa, kau tahu bahayanya itu bukan, aku sampai terluka dan berdarah-darah dibuatnya, namun aku mampu bertahan sejauh ini hanya dengan memikirkan telegram mu dengan latar warna merah dan hitam dengan kastil Marienburg dalam pancaran sinar senja, kau di Jerman! Belahan jiwa, kau disana! Sekarang aku tahu.

Hari masih berlanjut, belahan jiwa. Apakah kau merasa apa yang aku rasa? Aku mungkin tegar, tetapi aku rapuh. Berapa lama sudah saat telegrammu terakhir mampir? 2, 3, 5 tahun? Aku tak begitu mengingatnya, aku harap kau datang atau aku akan benar menjadi gila.

Ceritakan padaku hari yang kau lalui Belahan jiwa, ceritakan, katakan, atau datanglah sebelum aku mampu untuk berdiri dan terbang kembali.
“Kau benci padaku, belahan jiwa? Mengapa kau menolak ketika aku menggenggam tanganmu?” Aku bertanya saat perjumpaan kita yang kedua kala itu kau langsung menyetujui untuk mengakhiri segala batas.
“Aku melindungimu, bulu kecilku yang manis, di luar aku bisa begitu, tapi disini, diatas bulu-bulu angsa berjajar, satu hal yang selalu ingin kulakukan, membuatmu menjadi milikku.” Ucapmu sambil mengecup keningku, dan bergerak ke arah bibirku.
“Lalu mengapa aku? Kau bisa mendapat banyak kekasih, kau bisa menaklukkan Rhea dan Pandora yang keji. Lalu mengapa aku?” aku mengucapkannya sambil menatapmu yang kembali bergairah.
“Aku mempunyai reaksi kimia berbahaya padamu, dan aku bukan murid yang baik, yang mampu mendengarkan bahwa bahaya harus dihindari. Kurasa tidak selamanya, bahaya yang satu ini dapat menyelamatkan hatiku, semangatku, mimpiku.” Berakhir di sana percapakan itu, karena aku bahkan tak menyadari lagi apa yang terjadi.

Menjelang tengah tahun, perjumpaan itu terjadi lagi belahan jiwa, kali ini semua terasa menghangatkan. Bahkan hanya dengan mengingatmu. Mengenang bagaimana kau menatapku  penuh rindu. Belahan jiwa, aku sakit. Tidakkah kau merasakannya? Tapi aku tahu, suara mu penuh kekhawatiran.

Kali ini, belahan jiwa, kau meninggalkan jejak luka manis yang tak ingin aku lupakan. Idemu tentang sebaiknya aku tinggal di Troya. Aku menginginkannya, sungguh. Tapi aku masih harus membereskan naskah-naskah suci yang memenjarakan aku dengan waktu bersamamu. Tentang rencana kita, apa saja yang akan kau lakukan setibanya aku di Troya. Kau bersemangat, belahan jiwa. Aku hanya melongo menatapmu, sambil membayangkan mungkin aku harus menggunakan mantel merah terang selutut dan sepatu kets terbaik yang ada, aku yakin aku akan tersesat.

Aku masih harus berpikir, belahan jiwa. Aku akan menghidupimu, tak peduli kau akan malu atau tidak, aku akan menghidupimu. Dari perasaan kasih dan sayang yang aku miliki, kau berhak bersamaku. Di Troya. Begitupun aku, aku pernah bilang bukan, aku posesif.

Belahan jiwa, tetaplah bersamaku, atau nafasmu akan terus tersengal dan kau akan melihat kejeniusanku yang membuatku gila dan berbahaya. Belahan jiwa, kau itu milikku, seandainya seseorang merasakan kepemilikan semesta, itu karena dia mengagumi aku, bukan dirimu.

Belahan jiwa, setelah di Troya nanti, berjanjilah untuk tak jenuh bagai air keruh ketika ramalan yang mengatakan bahwa aku lebih berisik dari burung prenjak nanti tiba. Aku tidak bawel! Aku hanya penuh ide dan kreatif. Belahan jiwa, sampai di Troya nanti, kau harus melihat aku memakai kimono para wanita penghibur kelas atas dengan lipstick merah menyala, dan bulu mata hitam tebal yang menggoda. Kau juga harus mengantarku pergi belanja kosmetik, buku, baju, hingga bikini sets warna biru muda dan ungu. Jangan lupa untuk menemani aku minum kopi di akhir pekan, dan menemaniku mendaki gunung-gunung brahma di Jawa, aku harus menemui leluhurku. Katakan padaku, kau akan melakukannya. Aku percaya itu.

Hari sudah menjelang pagi saat ini, Belahan jiwa. Aku menatapmu saat pergi, bahumu, rambutmu, bahkan cara jalanmu. Itu dirimu, belahan jiwa. Aku terpojok di dalam kamar lagi saat ini, aku akan melakukan hal lain lagi hingga kita bertemu.

Aku sangat ingin berterima kasih, belahan jiwa. Tatapan terakhir kali kita bercinta adalah di atas jerami yang tersusun rapi dengan bermatraskan cahaya jingga dari jendela. Perjumpaan ini membuatku mengis, tak sadarkah? Lalu kau hanya mengusap air mata itu dengan ibu jarimu, kau berkata “Inilah tangis perempuan. Perempuanku. Tangisan yang membuat seorang pria lupa akan tangisnya sendiri. Tangisan yang membuat seorang pria, ingin sekali lagi, sedetik saja, bersamamu.”


Aku ingin bicara saat itu, bahwa kau adalah sebuah kisah. Kisah tentang belahan jiwa. Terpental oleh jarak dan waktu. Namun saling merasai apa yang sedang berbisik di detik-detik yang penuh intrik. 

Komentar